Katharina punya banyak alasan mengapa bergabung dengan Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN). Dasarnya suka pada kekayaan budaya tiap-tiap komunitas, seperti, kerajinan dan seni tradisi lainnya. Selain itu dia merasa punya tempat belajar dan menyalurkan minatnya menulis.
Bukan kebetulan jika Katharina kemudian bergabung dalam penyelenggaraan belajar mengajar model sekolah adat, untuk anak-anak Punan Semeriot bersama temannnya Sri Tiawati (Sukhet ), perempuan tangguh aktivis Barisan Pemuda Adat Nusantara – Perempuan Adat AMAN Kaltim. Sekolah Adat Semeriot sendiri secara resmi dimulai pada 12 Desember 2015.
“Kita prihatin Punan Semeriot dikatakan sebagai masyarakat terpencil, mereka memang jauh dari Bulusu kampung tempat kami tinggal. Mereka tinggal di wilayah yang masih murni sebagai wilayah adat mereka, kampung bernama Semeriot itu berada di hulu Sungai Bulusu. Untuk bisa sampai ke sana jarak tempuhnya memakan waktu cukup lama, empat jam kalau lagi cerah,” tutur Katharina.
“Dari keprihatinan itu muncul pemikiran untuk memperkenalkan baca tulis pada mereka, supaya mereka tidak tertinggal walaupun kemampuan kita terbatas. Tapi kita punya inisiatif untuk membantu mereka. Paling tidak mereka mengenal huruf, mengenal angka. Jadi ketika mereka milir (turun ke kampung di hilir) mereka tidak aneh melihat tulisan-tulisan. Itu adalah keprihatinan kita sehingga memulai proses belajar mengajar di sana. Disamping baca tulis anak-anak di Semeriot juga belajar mengenai lingkungan, kearifan lokal seperti berladang, menangkap ikan dengan melibatkan orang-orang di sana,” terang Katharina.
Jarak tempuh ke Semeriot yang lumayan jauh menjadi tantangan tersendiri, aksesnya cuma lewat sungai, berjeram, naik ketingting (perahu bermesin tempel) perlu biaya banyak. Barang-barang perbekalan , bahan bakar mahal.
“Sementara kami tidak dapat donatur, tidak punya dana jadi bersifat sosial. Kita ke sana kadang biaya sendiri, kadang patungan, nyewa perahu, termasuk bayar yang ngaterin kita ke sana. Otomatis kita nggak bisa setiap hari ke sana, di sana juga tidak ada jaringan, tidak ada apa-apa di sana. Proses belajar ini tak lepas dari bantuan Pak Gading Ketua Adat Punan Semeriot,” kata Katharina.
Selain mengajar anak-anak di Punan Semeriot Katharina mulai mengembangkan komunitas belajar mengajar Bulusu. Di kampungnya ini Katharina mengajak anak-anak remaja belajar, melestarikan budaya. Katharina yang juga akrab dipanggil Rina ini menyadari bahwa anak-anak Punan Bulusu sudah tidak menggunakan bahasa ibu mereka lagi. “Kalau bukan kita lagi yang menggunakan bahasa daerah, lalu siapa lagi ke depannya yang akan melestarikannya. Sementara sehari-harinya kita menggunakan bahasa Indonesia, baik di rumah, maupun dalam pergaulan sehari-hari,” paparnya.
Hal itu mendorong Rina membuat perkumpulan kecil di sekitaran kampungnya sebagai embrio sekolah adat. “Memang belum resmi jadi sekolah tapi segera akan diumumkan sekolah adat Bulusu. Di Bulusu Rina ditemani istri kepala adat – Ibu Ijur,” ujar Rina.
Mereka berdua punya perhatian sama melestarikan seni budaya. Antara Punan Semeriot dan Bulusu sebenarnya hampir sama. Saya nggak mau Bulusu terbengkali sebab tidak bisa dipastikan bagaimana nasib kebudayaan Bulusu ke depannya.
Materi ajar di Bulusu lebih bervariasi, ada musik tradisional, tari-tarian, bahasa daerah, ukiran, cara pengobatan tradisional. Yang menguasai semua itu hanya orang tua, generasi muda sudah tidak tahu sama sekali.
“Saya sendiri masih sering diobati dengan cara tradisional dan ritual-ritual itu. Supaya itu tidak hilang Rina mengajak anak-anak muda untuk menggali lagi sejarah mereka dulunya dari mana. Karena Punan berpindah-pindah, supaya tahu wilayah adat mereka di mana. Sejauh ini sambutan para orang tua masih positif, Memang ada sedikit tantangan dari almarhum bapa saya waktu itu, ngapain mendirikan sekolah adat di Punan sementara mereka tahu adat semua, kata bapak saya waktu itu,” lanjut Rina.
“Saya jawab, kami bukan mengajari mereka kami hanya memotivasi dan memfasilitasi semampu kami. Merekalah yang mengajar anak-anak itu, bukan kami, jawab saya waktu itu,” papar Rina lebih jauh. “Kalau anak belajar sama orang tuanya, seperti saya belajar sama bapak saya, itu artinya cuma saya yang tahu, anak-anak lain tidak tahu apa-apa. Begitulah maksud dari sekolah ini, agar semua anak-anak dapat belajar bersama. Kami memberikan wadahnya supaya mereka mengajarkan anak-anaknya,” jelasnya.
“Belum ada tanggapan dari pemerintah tapi kalau tanggapan dari lembaga adat positif mendukung usaha mendirikan sekolah adat ini. Karena anak muda inilah yang nantinya jadi pewaris kebudayaan, kalau tidak belajar dari sekarang kebudayaan kita akan hilang nggak ada yang tahu. Kalau dengan lembaga adat sendiri aku sudah bertemu dengan lembaga adat tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, tanggapan mereka positif dan merestui perencanaan sekolah adat”
“Pada tahap awal kami memberikan penyadaran bahwa semua adalah korban Resettlemen Penduduk (Respen) program pemerintah. Saya mau menyadarkan semua saudara dan teman-teman bahwa kami adalah korban. Kita harus menggali kembali dari mana asal usul kita, dan kita tidak boleh lupa. Semakin banyak yang sadar semakin banyak yang ikut memperjuangkan wilayah adat”
“Saya tidak merasakan tetapi orang tua saya, mengalami betapa sakitnya dipindahkan dari wilayah tempat mereka tinggal. Wilayah adat kami yang dulunya luas sekarang tinggal sedikit, kalau habis nanti kami mau ke mana? kata Rina.
Lewat penyenggaraan sekolah adat ini Rina banyak belajar dan dapat pengalaman baru. Mulai dari belajar seni tradisi, kerajinan anyaman dari para ibu-ibu. Banyak pengalamam baru dari kaum perempuan masyarakat adat di komunitas.
“Sayangnya di komunitas kami itu sistimnya masih patriarki, perempuan tidak dibolehkan mengambil keputusan, baik dalam strata masyarakat dan keluarga. Ini juga menjadi beban buat saya, sebab dalam keluarga saja patriarkhi saja sudah sangat kental, laki-laki selalu diutamakan. Semua hal yang diutamakan laki-laki. Bagaimana saya bisa bergerak berjuang kalau dari lingkungan saya sendiri membatasi pergerakan saya. Tambah lagi di tengah masyarakat juga seperti itu.Kamu itu perempuan, apa hebatnya kamu sebagai perempuan. Itu kadang membebani kita lalu bagaimana kita mau berjuang”
“Kadang sedih juga betul-betul ingin berjuang mempertahnkan segalanya lalu semangat saya dipatahkan oleh keluarga sendiri.Kamu itu perempuan tidak usah terlalu banyak keinginan, kodratnya perempuan itu di dapur, itu kata mama saya sendiri,” cerita Katharina.
“Selalu seperti itu, sebelum saya pergi untuk keperluan organisasi diceramahi ibu. Karena terbebani hal seperti itu kadang saya ingin berontak agar beban saya hilang saya tidak mau tahu mereka mau ngomong apa. Yang jelas saya perempuan punya semangat untuk berjuang, mudah-mudahan saya punya wadah dan teman berjuang,” sambungnya.
“Sistem patriarki menjadi hambatan kami berjuang. Saya pernah membayangkan perempuan punya banyak peran memajukan daerah. Kita tidak boleh mengatakan perempuan adalah kaum lemah. Perempuan itu hebat memperjuangkan hidupnya demi demi menyelamatkan nyawa satu orang”
“Kita melihat perempuan menahan rasa sakit, tapi dia hebat mampu bertahan untuk memperjuangkan hidup anaknya itu. Walaupun saya belum pernah merasakan rasanya melahirkan tapi saya melihat bagaimana perjuangan perempuan menahan rasa sakit saat melahirkan dan mampu mengatasi rasa sakit tersebut,” katanya menutup ceritanya. **** Jeffar Lumban Gaol