Adlun Fiqri
Pepohonan masih basah saat kami menginjakan kaki di gerbang kawasan adat Ammatoa, pertengahan September lalu. Sekitar 20 orang, kami melangkah masuk menyusuri jalanan tanah berbatu. Tanpa alas kaki dan berpakaian serba hitam, syarat utama masuk di kawasan ini.
Kendati berombongan, tiada suara keributan atau obrolan keras. Suasana hening. Hanya ada cicit burung dan jangkrik dari hutan di tepi kanan jalan. Beberapa rumah panggung tampak berjejer di antara hutan dan ladang warga. Sesekali kami mendengar anak kecil bernyanyi dari salah satu rumah.
Kawasan adat Ammatoa secara adminisratif masuk dalam desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Bulukumba. Sekira 4 jam perjalanan darat dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kawasan ini berstatus dusun, salah satu dari 9 dusun di desa Tana Towa. Orang biasa menyebut Dusun Benteng atau kawasan Kajang Dalam.
Yang menjadi pembeda dengan dusun lainnya ialah, di sini kehidupan warganya tidak menggunakan teknologi modern. Sebagai tamu sekalipun dilarang keras menggunakan teknologi modern dan telah menjadi aturan adat sejak dulu. Kamera dan telepon genggam saya tinggalkan di rumah tempat kami menginap, hanya pulpen dan buku catatan yang saya bawa masuk.
Sepuluh menit berjalan, kami tiba di sebuah sumur yang menjadi sumber air utama bagi penduduk di dalam kawasan. Beberapa perempuan paruh baya sedang mencuci. Tubuh mereka dibalut sarung tenun warna hitam. Dari informasi yang saya dapat, sumur tersebut tidak pernah kering walau kemarau melanda.
Tak jauh dari sumur, kawasan pemukiman warga. Jalannya agak sedikit menanjak. Tampak puluhan rumah panggung berbahan kayu. Beberapa ekor kuda diikat di halaman rumah.
“Semua rumah di sini menghadap ke arah barat” ungkap kak Eda, warga Kajang yang jadi pemandu kami.
Kami akhirnya tiba di rumah Ammatoa, pemimpin adat komunitas tersebut. Kami memenuhi ruang utama di rumah panggung itu. Ruang utamanya, sebagai tempat menerima tamu, juga menjadi dapur. Tungku terletak tepat di samping pintu rumah. Sedangkan di bagian loteng rumah, terdapat bermacam tikar dan beberapa peralatan.
Amma, sapaan beliau, duduk bersila di sudut ruang. Aurah teduh terpancar dari wajahnya. Amma menggunakan pakaian serba hitam: kameja, sarung, serta ikat kepala. Amma didampingi 3 orang galla atau pemangku adat. Selain istrinya, ada juga beberapa warga berada di sana. Dalam struktur lembaga adat Ammatoa, Amma selaku pemimpin adat dan spiritual, dibantu oleh 26 galla yang memiliki tugas serta tanggungjawab masing-masing.
Setelah bersalaman dengan Amma, melalui Nursida dan Kak Eda, pemandu sekaligus juru bicara, mengungkapkan maksud serta tujuan kedatangan kami. Selain silaturahmi dan perkenalan, juga memohon ijin serta restu untuk melaksanakan kegiatan sepekan di kawasan luar. Amma merestui.
Beliau lalu bercerita mengenai keseharian penduduk dan aturan yang ada dalam kawasan. Sayangnya, tidak seluruh ucapan kami mengerti, sebab beliau menggunakan bahasa Konjo, bahasa ibu orang Kajang. Hanya beberapa yang kami pahami, itupun dari terjemahan oleh kak Eda.
“Intinya Amma berpesan beberapa hal pada kalian, yaitu jaga mata, jaga tangan, jaga kaki dan jaga mulut” kata kak Eda.
Empat hal itu berangkat dari Passang ri Kajang atau pesan dari Kajang, pesan leluhur yang diwariskan dan jadi landasan hidup masyarakat adat Kajang.
Kak Eda menjelaskan, jaga mata artinya kita menjaga pandangan melihat barang yang dimiliki orang lain dan menimbulkan iri atau keinginan untuk memiliki; sementara menjaga tangan, jangan mengambil yang bukan hak atau milik kita; sedangkan menjaga kaki, kita harus membatasi langkah kaki jika tidak memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Terakhir, menjaga mulut atau menjaga lisan, segala yang kita ucapkan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain atau membuat sakit hati. Banyak warga yang kena passala atau didenda karena tidak menjaga ucapannya. Setidaknya itu yang dipesankan kepada kami selama berada di sekitar kawasan ini.
Tradisi Bakar Linggis
Kajang memilik banyak aturan adat yang harus ditaati. Sanksi adat menunggu bila ada yang berani melanggar. Segala perselisihan akan diselesaikan oleh para Galla yang bertugas, sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Jika terjadi perselisihan yang menyangkut kejujuran, lalu mengalami kebuntutan dalam penyelesaian, maka akan dilaksanakan sebuah mekanisme penyelesaian yang sangat sakral. Prosesi paling terkenal dari orang Kajang ini, yakni Atunnu Panrolli atau bakar linggis. Tujuannya, uji kejujuran.
Mulanya para tetua adat dan pihak yang berselisih berkumpul. Sebilah lingis lalu dibakar dalam api yang membara, tentunya disertai mantra-mantra. Setelah linggis benar-benar terbakar dan memerah, para pihak yang berselisih dipanggil untuk menyentuh linggis tersebut.
“Jika jujur, dia tidak akan merasakan panas. Begitu juga sebaliknya, jika tidak jujur, tangannya akan melepuh” jelas kak Eda.
Orang yang tangannya melepuh, sudah tentu pihak yang tidak jujur. Dengan mekanisme penyelesaian seperti itu, sangat jarang ada yang berani melanggar dan mengambil hak yang bukan milik mereka.
Hutan Adat
Saat ini wilayah Kajang terdiri dari beberapa desa. Saya tidak sempat menanyakan berapa luas wilayad adat mereka. Wilayah Kajang terdiri dari pemukiman dan ladang warga, hingga hutan adat. Hutan adat Kajang merupakan hutan larangan yang tidak boleh dimasuki tanpa seijin dari para pemangku.
Pada Desember 2016, hutan adat ini mendapat pengakuan dari negara melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentang penetapan Hutan Adat Ammatoa Kajang seluas 313,99 Hektar.
Hutan adat ini diluar kawasan pemukiman dan ladang warga. Dalam keseharian, warga Kajang berladang sebagai pencahrian. Mereka menanam padi ladang, ubi-ubian dan memelihara ternak.
Dalam Balutan Hitam
Pertemuan pagi itu tak berlangsung lama, sebab Amma serta para perangkat hendak melakukan musyawarah adat. Kami berpamitan kembali ke luar kawasan.
Ada hal menarik saat kami keluar dari kawasan dan berpapasan dengan sejumlah anak sekolah dasar. Jika di tempat lain seragam sekolah dasar berwarna merah putih, anak-anak Kajang berseragam hitam putih. Celana atau rok merah diganti hitam. Di sini, warna merah adalah pantangan dan dilarang. Maka seragam anak-anak Kajang disesuaikan aturan adat mereka.
Dalam kesehariannya, orang Kajang menggunakan pakaian berwarna hitam yang ditenun sendiri. Di rumah-rumah warga, terdapat alat tenun, dan biasanya diletakan di bawah rumah. Tenun ini dikerjakan oleh tangan perempuan Kajang.
Sebuah Lippa’ lel’leng atau sarung tenun bisa selesai dalam dua minggu. Proses menenun disebut siring. Dulu, masyarakat memental sendiri kapas menjadi benang. Namun saat ini masyarakat membeli benang dari luar. Sementara untuk mewarnai benang menjadi hitam, mereka menggunakan daun tarung yang tumbuh di ladang.
Setelah sehelai tenun dihasilkan, proses selanjutnya disebut garus’u, yakni menggesek-gesek tenun menggunakan cangkang kerang laut hingga mengkilat. Tenun Kajang sangat sederhana, hitam polos, tidak memiliki banyak motif seperti tenun di daerah lain.
Hitam tidak lepas dari filosofi orang Kajang. Bagi orang Kajang, hitam adalah symbol kesederhanaan dan kesetaraaan. Hal ini berangkat dari prinsip kamase-masea. Dari pakaian hingga bentuk rumah, semua sama dan setara, maka tak heran orang Kajang hidup bersahaja.