Nenek Asiani & Bahtiar Sabang sama-sama dijerat UU-P3H
Masih ingat dengan cerita memilukan seorang nenek bernama Asiani alias Muaris (63) terdakwa pencuri kayu milik PT Perhutani ? orang tua renta asal Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo Jawa Timur. Beliau dilaporkan oleh PT. Perhutani karena dianggap mencuri kayu dan berstatus terdakwa di Pengadilan Negeri Situbondo.Nenek renta Asiani didakwa pasal 12 junto pasal 83 UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H).
Hal memilukan dalam kisah nenek Asiani adalah tuduhan memiliki 38 sirap kayu jati sampai permintaan uang Rp. 4.000.000,- dari oknum Perhutani kabar nenek Asini ini mengguncang rasa kemanusiaan banyak orang, hujatan, umpatan, cemohan berseliweran di media sosial, bahkan pesimistis atas hukum Indonesia semakin menjadi karena kasus ini. Gelombang solidaritas terus mengucur, diantaranya dari Dr. Nur Fauzi Rahman, ahli politik agraria dan gerakan pertanahan serta Prof. Dr. Achmad Sodiqi yang merupakan mantan Wakil Ketua MK yang bersedia menjadi saksi ahli. Cerita nenek Asiani kini menjadi perhatian publik.
Tapi apakah Anda pernah mendengar cerita tentang Bahtiar Sabang? seorang Masyarakat Adat berusia 45 tahun yang bermukim di Dusun Soppeng, Desa Turungan Baji, Kec. Sinjai Barat, Kab. Sinjai, Sulawesi Selatan. Sudah sekitar se-tahun menjalani proses hukum sejak dilaporkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Sinjai dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resort Sinjai sejak 29 Januari 2014 silam berdasar laporan Polisi Nomor: LP/379/XII/2013/SPKT.
Bahtiar dituduh Menebang pohon di dalam kawasan hutan produksi terbatas tanpa izin dari pihak yang berwenang. (Pasal 78 ayat (2) Junto Pasal 50 ayat (3) Huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Saat kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sinjai, Jaksa penuntut umum justru mendakwa Bahtiar melanggar Pasal 81 ayat (1) Huruf b Jo. Pasal 12 Huruf b dan Pasal 84 ayat (1) Jo. Pasal 12 Huruf f Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H). Perubahan atas undang-undang yang dilanggar Bahtiar tersebut adalah hal yang fatal, dan lebih fatal lagi bahwa meskipun pasal yang dikenakan pada Bahtiar tidak ada dalam UU yang dimaksud, proses hukumnya tetap dilanjutkan.
Ayah dari tiga anak ini adalah penggerak dalam komunitas adatnya, surat perintah penangkapan dirinya hanya sehari setelah Ia mengkonsolidasikan pemetaan partisipatif wilayah adat tempat Ia bermukim. Meskipun tidak seheboh cerita kasus nenek Asiani dimedia social dan pemberitaan media lainnya, namun kisah Bahtiar juga memiliki beberapa kesamaan cerita dengan nenek Asiani.
Saat Bahtiar ditahan di Polres Sinjai, kuasa hukumnya mengajukan permohonan penangguhan penahanan dan menjamin bahwa Bahtiar tidak akan mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti dan/atau melarikan diri. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan bersama Pengurus Daerah AMAN Sinjai dan beberapa tokoh masyarakat sudah jadi penjamin. Namun Kepolisian tidak menerima jaminan orang justru meminta jaminan uang sebesar Rp. 2.500.000,-. Secara nominal lebih rendah dari permintaan perhutani ke nenek Asiani. Perbedaan tersebut wajar saja sebab Rp. 4.000.000,- dimaksudkan untuk penghentian kasus sedangkan Rp. 2.500.000,- untuk penangguhan penahanan.
Dibalik perbedaan nominal tersebut ada kesamaan anatara aparat penegak hukum, korporasi, aparatur Negara (“meskipun oknum”) telah menunjukkan bagaimana cara uang bermain dalam menyelesaikan kasus hukum dan bagaimana cara kekuasaan digunakan melakukan pemerasaan terhadap rakyat kecil yang bahkan tidak paham apa kesalahannya. Selain upaya pemerasaan, persamaan lain nenek Asiani dan Bahtiar mengenai barang bukti. Pada saat persidangan mendengarkan keterangan saksi pelapor, seorang mandor hutan bernama Katu memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan sebelumnya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian. Katu menjelaskan di dalam BAP bahwa Bahtiar menebang 40 pohon dengan diameter sekitar 50 Cm.
Namun saat dipengadilan, Katu dengan gamblang menjelaskan bahwa hanya beberapa pohon yang ditebang dan tidak berdiameter 50 Cm bahkan dibuat tiang penyangga-pun tidak bisa apalagi dijadikan balok atau papan. “hanya bisa dikasi jadi kayu bakar, ” katanya. Saat dipertanyakan oleh Hakim atas dua kesaksian berbeda tersebut, Katu menepuk jidat lalu menggerutu menyesali telah diambil sumpah sebelum bersaksi sehingga terpaksa mengakui kebenaran kesaksiannya di ruang pengadilan.
Jika nenek Asiani dituduh mencuri 38 sirap kayu Perhutani, maka Bahtiar di tuduh menebang 40 Puluh pohon bediameter 50 Cm. Ada yang lebih dari cerita Bahtiar dibandingkan nenek Asiani dalam hal barang bukti yakni ke-40 pohon berdiameter 50 Cm tersebut ditebangnya dengan “Kandao” (parang kecil dengan ujungnya bengkok) yang dalam keseharian Masyarakat Turungan digunakan untuk mengambil rumput dan ranting pohon untuk kayu bakar.
Persamaan lainnya dalam kisah nenek Asiani dengan Bahtiar Sabang membangkitkan solidaritas perlawanan rakyat. Di Media Sosial, Facebook misalnya, nenek Asiani menjadi tranding topic. Berita tentang kisahnya dibagikan puluhan orang, disukai ratusan orang dan dikomentari ribuan orang. Sedangkan Bahtiar, solidaritas tersebut menjalar ke dunia kampus, ke kelompok pemuda, petani dan elemen lainnya di Sinjai. Puluhan orang dengan setia mengawal sidang demi sidang bersama keluarga Bahtiar, tidak jarang dengan cara berdemonstrasi di depan Pengadilan. Di Facebook, puluhan orang memotret dirinya dengan kertas bertuliskan: “Bebaskan Bahtiar”
Solidaritas tersebut tidak hanya menjalar di tingkat akar rumput atau di media sosial saja namun juga mengetuk hati beberapa tokoh nasional yang memiliki kompetensi dalam hal Agraria. Jika Nur Fauzi Rahman menjadi saksi ahli kasus nenek Asiani, maka Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas-HAM menjadi saksi ahli dalam kasus Bahtiar Sabang. Dari beberapa persamaan kisah nenek Asiani dan Bahtiar Sabang yang diurai di atas, ada satu persamaan keduanya adalah korban Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H). Undang-undang yang pada semangat awalnya menjaga kawasan hutan Indonesia yang tersisa dari tangan-tangan rakus investasi, menjadi benteng terhadap serbuan kekuatan capital, menjaga keanekaragaman hayati dari izin konsesi. Namun dalam paktiknya justru menjadi senjata untuk mengkriminalisasi, memenjarakan, menyingkirkan, memiskinkan masyarakat disekitar hutan.
Masyarakat adat atau kaum petani yang bermukim di sekitar hutan haruslah dipandang sebagai potensi bukan sebagai ancaman sehingga yang terjadi adalah pemberdayaan bukan penyingkiran. Sebab, Memisahkan Tenaga Kerja dari Alat Kerja dan Sasaran Kerjanya adalah awal memupus mimpi tentang kedaulatan pangan, kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa apalagi ikut melaksanakan ketertiban dunia. ****Arman Dore