Menjangkau Masyarakat Adat
Oleh: Akmal Abudiman M
Salah satu kekayaan Indonesia adalah masyarakat adatnya. Masyarakat adat hadir sebagai salah satu khasanah budaya yang memberikan spektrum warna tersendiri di atas garis peradaban bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya terlahir dari rentetan peradaban leluhur, tetapi juga melahirkan mozaik kehidupan yang mengajarkan kepada kita akan nilai-nilai kehidupan. Namun, kemajuan zaman perlahan menggerogoti dinding peradaban konvensional dan menggantinya dengan apa yang disebut modernitas. Kekhawatiran pun muncul tatkala modernitas digadang-gadang akan menggerus tatanan kehidupan masyarakat adat. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab, segelintir orang berpandangan bahwa cukup sulit untuk menerapkan ajaran leluhur (masyarakat adat) di zaman yang serba maju seperti sekarang.
Salah satu potret masyarakat adat yang bisa dicapture adalah masyarakat adat Kajang. Kajang adalah suatu wilayah yang salah satu desanya dihuni oleh masyarakat adat yang masih menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Masyarakat adat ini bernama masyarakat adat Ammatoa atau orang-orang lebih akrab menyebutnya masyarakat adat Kajang. Masyarakat adat Kajang berlokasi di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang. Lokasinya berjarak sekitar57 KM dari ibu kota Kabupaten Bulukumba dan kurang lebih 270 KM dari ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Seiring waktu, pemikiran masyarakat adat Kajang semakin maju. Dulu di Tana Toa tidak ada tempat pendidikan formal karena tidak ada satupun masyarakat adat yang mau menuntut ilmu secara formal.
Namun, sejak tahun 1993, kita bisa menjumpai sekolah dasar yang berdiri tepat di daerah perbatasan dengan kawasan adat . Sekolah tersebut tidak dibangun di kawasan adat melainkan di perbatasan karena masyarakat adat Kajang memiliki Pasang (aturan adat) yang melarang pembangunan tembok di dalam kawasan adat. Hal inilah yang menyebabkan sekolah tersebut didirikan di perbatasan antara Kajang Luar dan Kajang Dalam, sehingga tidak hanya bisa diakses oleh masyarakat Kajang Luar tetapi juga bagi masyarakat Kajang Dalam. Berdirinya sekolah tidak membuat anak-anak masyarakat adat beranjak dari hukum adat dan ajaran leluhur. Salah satu yang menjadi bukti adalah seragam putih merah yang biasanya dikenakan oleh murid SD pada umumnya tidak berlaku di sekolah tersebut. Putih hitam menjadi warna yang digunakan oleh murid disana dengan alasan ada warna tertentu yang justru bertentangan dengan adat mereka.
(untuk membaca secara lengkap silah klik di bawah ini)