Ternate 20/5/2015 – Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PW AMAN) Maluku Utara gelar Lokakarya terkait Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA) di Malut. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Grand Majang, Ternate, Selasa (19/05/2015). Ketua BPH AMAN Maluku Utara (Malut) Munadi Kilkoda menjelaskan, bahwa AMAN Malut telah lama bersama masyarakat adat dalam melakukan pemetaan wilayah adat, penguatan kapasitas pengetahuan masyarakat adat, pengembangan ekonomi mandiri, termasuk juga advokasi kasus yang dilakukan secara langsung dalam merespon kasus maupun mengintervensi kebijakan publik.
“Di Maluku Utara ada 57 komunitas masyarakat adat dan beberapa diantaranya sudah melakukan pemetaan wilayah adat. Pemetaan ini ke depan akan terus dilakukan,” kata Munadi saat memberi penjelasan terkait situasi terkini masyarakat adat di Maluku Utara. Pemateri dalam lokakarya ini hadir Abdurahim Odeyani (Ketua Banleg Halteng), Doraino Hohary (Kabag Hukum Pemkab Halut), Siti Barora Sinai (Akademisi), Mohammad Arman (PB AMAN).
Selain itu, beberapa lembaga dan masyarakat adat turut hadir sebagai peserta yakni, Walhi, eLSIL Kieraha, LML, LBH, Pilas Institute, Gamalama Post, DPRD Halteng, Dinas Kehutanan Halteng, Dinas Kehutanan Malut, Taman Nasional, Fak Hukum Unkhair, Dr. Nam Rumkel, Suku Sahu, Hoana Pagu, Hoana Gura, dan Dodaga.
Munadi menambahkan, Situasi Konflik yang dialami oleh masyarakat adat, ketika hak-hak mereka atas tanah, wilayah, dan sumberdaya alam dirampas oleh berbagai izin. Baik di sektor pertambangan, perkebunan, HPH maupun perluasan infrastruktur. Tahun 2014, AMAN mencatat terjadi 30 kasus konflik agraria. Masyarakat adat juga tidak bisa mengakses hak mereka karena haknya belum diakui. Di Maluku Utara belum ada Perda Hak-Hak Masyarakat Adat yang dikeluarkan oleh Pemkab/Pemkot. “Perkembangan legislasi di pusat tidak banyak direspon oleh pemerintah daerah, misalnya Putusan MK 35. Tahun 2015, AMAN Maluku Utara berhasil mendorong Perda PPHMA di Halteng masuk dalam agenda DPRD sementara di Halut dikeluarkan SK Bupati yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Proses legislasi ini harus terus didorong sampai masyarakat adat memperoleh kembali hak-hak mereka,”tegasnya.
Siti Barora Sinai, menjelaskan terkait hasil penelitian akademik yang dilakukan oleh Unkhair di lima kabupaten/kota yaitu Ternate, Tidore, Halteng, Halut, dan Halbar. Ia menjelaskan defenisi masyarakat adat berdasarkan pendapat masing-masing ahli, termasuk ciri dan wilayah adat, peraturan hukum yang mengatur hak-hak masyarakat adat, baik UU maupun Permendagri. Selain itu, terkait dengan konflik yang menyebabkan masyarakat adat kehilangan hak mereka atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. “Realita masyarakat adat di Maluku Utara inilah yang mengharuskan ada Perda yang mengatur hak-hak masyarakat adat,” kata Siti.
Mohammad Arman, menjelaskan istilah-istilah masyarakat adat termasuk Swapraja/kerajaan dalam konteks kehidupan masa lalu, serta masyarakat adat dalam UUD dan UU sektoral yang mengatur keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisional mereka. “Sistem hukum sudah mengatur masyarakat adat, baik itu undang-undang maupun peraturan lain seperti Putusan MK No 35, namun tidak sejalan dengan kondisi faktual yang dialami masyarakat adat. Masih terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat,” papar Arman.
Abdurahim Odeyani menjelaskan alasan mendasar kenapa DPRD Halteng berinisitif mendorong Perda PPHMA menjadi salah satu agenda DPRD. “Negeri kami ini banyak tambang yang mengancam masyarakat adat kehilangan tanah-tanah mereka. Belum lagi penetapan kawasan hutan negara di atas hutan adat yang membuat masyarakat adat kehilangan hak. Persoalan mendasar ini menjadi bagian terpenting dari lahirnya inisiatif kami,” kata beliau.
Dalam paparannya Doraino Hohary menyampaikan bahwa, Pemda Halut sejak lama memperjuangkan Perda terkait hak-hak masyarakat adat. SK Bupati Nomor 133/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Halut. “SK ini akan menjadi rujukan dalam pembuatan Perda PPHMA di Halut. Halut saat ini sudah memiliki Perda Kelembagaan Adat Hibualamo dan Perda Pengakuan Tanah-Tanah Adat di Lingkar Tambang yang dikeluarkan pada tahun 2014,” terang Doraino.
Adapun hasil Lokakarya, AMAN bersama para narasumber dan peserta melahirkan rekomendasi sebagai berikut. DPRD Halteng dan Dinas Kehutanan Halteng ; Pertama, Penyamaan persepsi antara DPRD dan Pemkab termasuk masyarakat adat dan AMAN dalam mempercepat PERDA PPHMA di Halteng. Ke-dua, Banleg DPRD Halteng akan membangun komunikasi politik dengan anggota Halteng lainnya. Ke-tiga, Dinas Kehutanan bersedia melanjutkan kerja-kerja dalam merespon Putusan MK 35. Meminta AMAN untuk membantu sama-sama melakukan inventarisasi hak-hak masyarakat adat di Halteng. Ke-empat, Melakukan sosialisasi yang terkait dengan perambahan hutan. AMAN diajak untuk terlibat melakukan sosialiasi tersebut di masyarakat. Ke-lima, Pemetaan wilayah adat menjadi agenda yang harus terus di dorong oleh AMAN dan Pemkab Halteng.
Taman Nasional, Pertama, Pemetaan wilayah adat di dalam kawasan Taman Nasional terutama hak-hak Orang Togutil. Ke-dua, TN tidak akan melarang warga memungut hasil hutan sepanjang tidak di komersilkan.
Pemkab Halut, Pertama Pemda akan menyampaikan draft Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dalam waktu dekat. Ke-dua AMAN diminta memfasilitasi sosialisasi SK Bupati sekaligus mempercepat pemetaan wilayah adat.
Masyarakat adat Halbar, Pertama, AMAN memfasiltasi pemetaan wilayah adat Sahu. Ke-dua, AMAN memfasilitasi masyarakat adat Sahu untuk membicarakan kepentingan mereka dengan pemerintah daerah.***Faris Bobero Infokom AMAN Malut