Ende, 3 September 2015- Komunitas masyarakat adat Saga Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur selenggarakan Pesta Adat Nggua merupakan ciri khas kehidupan masyarakat adat dalam mempertahnkan budaya tradisionalnya. Pesta adat ini dilakukan setiap tahun sesuai dengan jadwal baku dari para mosalaki (tokoh adat).
Di awal Pesta Adat Nggua ini para mosalaki ikut kegiatan seminar sehari untuk membahas dan mengkaji makna dan hakikat pelaksanaan Nggua bertujuan untuk memberikan pengetahuan informatif tentang nilai-nilai budaya agar bisa diwariskan pada generasi baru, dengan harapan ikut melestarikannya secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam seminar hadir seluruh warga komunitas adat Saga, komunitas yang berdekatan dengan Saga, para pastor, tokoh agama, pemuda, mahasiswa , pemerhati budaya dan masyarakat adat, pemerintah dan Dinas Pariwisata Ende, pengurus AMAN Nusa Bunga. Kegiatan pesta adat ini diselenggarakan di komunitas adat Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Lebih dari 200-an peserta hadir dalam seminar ini.
Pesta adat Nggua oleh masyarakat adat Saga bersama mosalaki akan berlangsung selama satu minggu (3-10/9/2015) dimulai dengan Seminar Sehari Adat Nggua (03/09/2015).
Narasumber dalam seminar sehari pesta adat Nggua ini terdiri dari Rm. Ferry Dhae berlatar belakang Sosiolog , Mgr. Vincent S.Poto Kota Uskup Agung Ende berdasarkan pengalaman dan penghayatannya dan Rm Herman E Wetu, dengan materi Intergrasi Ritual adat dengan Praktis imam katolik dalam hidup sehari-hari dengan Moderator Phlipus Kami, Ketua AMAN Nusa Bunga juga Anggota DPRD Ende.
Menurut Rm Feryy dalam paparan materinya menyatakan bahwa secara sosiologis seluruh seremonial adat yang dilakukan oleh masyarakat adat Saga menunjukan sebuah kehidupan manusia yang ada di muka bumi ini. Dan masyarakat adat secara umum untuk kabupaten Ende dibangun dengan sebuah mitos/mitologi yang menggambarkan kehidupan masyarakat adat yang sangat akrap hubungannya dengan alam.
Acara pesta Nggua merupakan acara yang berkaitan dengan diri manusia itu sendiri( Tebo ) lahir-dewasa, hidup/kawin dan mati serta upacara berkaitan dengan kehidupan yang bekerja untuk mewujudkan gae ola kema tau ola muri (kesejahteraan manusia) yang sering dilaksanakan dalam Nggua berkaitan dengan upacara berladang atau berkebun.
Lebih jauh Rm Ferry menjelaskan bahwa sejak dahulu manusia yang berada di Pulau Flores dikisahkan dengan mitos Ana kalo, menggambarkan hubungan manusia dengan kehidupan. Mitos Ana kalo ini dikisahkan sebagai pusat keberadaan dan kepercayaan masyarakat adat akan adat serta seluruh unsur yang ada dalam acara adat.
Manusia ada di Pulau Flores sejak zaman glatsia dikisahkan hidup seorang diri (Anak kalo) di atas Gunung Lepembusu. Dan manusia itu mempertahankan hidup dengan mulai proses bercocok tanam umbi-umbian.
Kisah ini sebenarnya di komunitas adat ada juga di Lio Ende, ada banyak versi. Banyak cerita mitos yang dibangun oleh masyarakat adat masing-masing komunitas. Tujuan dari cerita mitos ini maknanya adalah masyarakat adat hidup tidak terlepas dengan tanah dan alam dan seluruh simbol yang dipakai atau digunakan oleh masyarakat adat adalah alat untuk berkomunikasi dengan sesama dan sebagai bentuk kepercayaan serta kekuatan sebuah komunitas.
“ Saat ini umumnya masyarakat adat Ende Lio masih memelihara mitos /cerita rakyat sebagai bagian dari nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat untuk membangun pola kehidupan manusia yang beradab. Pada masyarakat adat adalah bagian dari pelaku /pencipta budaya tradisional yang mengikat masyarakat adat taat pada aturan hukum adat dalam sebuah proses kehidupan,” kata Rm Ferry.
Penjelasan dari Romo Herman tentang intergrasi antara ritual adat dan praktik iman khatolik sebenarnya mirip dengan kepercayaan secara imam khatolik dalam ritual adat. Kepecayaan iman khatolik sebenarnya telah dilakukan oleh tokoh adat yang dirayakan setiap kali terjadinya pesta adat. Menurutnya sudah seharusnya jika mosakali (tokoh adat) menjalankan ritual adat, maka tokoh adat tersebut menjalankan ritual keagamaan secara katolik, bedanya hanya pada waktu dan tempat serta tata cara yang digunakan.
“Kita ka mosa laki sebagai pelaksana adat, jika ola kema kita dau pawe-pawe sesuai no’o ola pati ti ‘i tentu hal ini secara iman khatolik sudah menjalankan peran itu dan sesungguhnya pesan apa yang akan kita petik dan makna untuk bisa digunakan kepada seluruh anggota masyarakat adat” Kata Romo Herman
menjelaskan bahwa proses pesta adat Nggua sama seperti yang dilakukan dalam kepercayaan iman Khatolik , dari proses awal kerja-kerja yang dilakukan oleh para mosalaki dan fai walu ana kalo telah menunjukan proses pelaksanaan dalam ekaristis Khatolik, hanya sedikit berbeda dalam penghayatan dan memahami maknanya.
Dalam seminar sehari ini, berbagai informasi dan penjelasan para narasumber, menggambarkan bahwa Pesta adat Nggua adalah salah satu acara yang diselenggarakan oleh masyarakat adat Saga dan masih banyak lagi ritual adat lainnya yang belum dibahas. Pesta adat Nggua Saga, merupaka agenda tahunan saat memulai proses awal menanam hingga panen dan merayakan keberhasilan. Semua siklus acara adat menurut para mosalaki Saga menjadi narasumber utama bahwa ritus sangat erat hubungannya dengan warisan leluhur dalam mempertahankan tanah dan mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat yang berakal dan bermoral.
Kesimpulan dan rekomendasi dari seminar sehari dalam acara Pesta Ada Nggua adalah antara lain
Pertama, mendokumentasikan kembali seluruh proses seremonial adat dan menghidupkan kembali seluruh rangkaian acara adat dari warisan leluhur.
Ke-dua, para mosalaki mulai membenahi kelembagaan adat, sejarah asal usul dan sejarah tanah adat Saga.
Ke-tiga, memberitahukan pemerintah kabupaten untuk mengakui dan menata kembali tanah, hasil dari warisan leluhur masyarakat Saga,
Ke-empat, mulai mewarisi seluruh proses regenerasi penerus untuk mempertahankan adat dan pelestariannya dan mulai membangun kampung adat untuk mengadap arus perubahan zaman.
Ke-lima, kembali melakukan Penataan kampung adat Saga sebagai Ikon pariwisata dengan tidak menghilangkan Budaya asli masyarakat adat Saga.**** Yulius Fanus Mari, Infokom AMAN Nusa Bunga