Tugas Besar Masyarakat Adat Menjaga Bumi Pertiwi

Sarasehan Perempuan Adat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam #TemuNasIIPA

Sarasehan Perempuan Adat dan Pengelolan Sumberdaya Alam
Sarasehan Perempuan Adat dan Pengelolan Sumberdaya Alam

Bogor 28/ 9/ 2015 – “Jika lingkungan kekurangan air bersih itu akan berdampak pada perempuan dan anak,” kata Ibu Gunarti memulai paparannya pada seminar “Perempuan Adat dan Pengelolan Sumber Daya Alam” dalam rangkaian acara Temu Nasional II Perempuan AMAN di Bumi Gumati 27/9/2015. Disamping menghadirkan Ibu Gunarti dari Sedulur Sikep (Jawa Tengah) sebagai narasumber juga hadir Ibu Mardiana Dereen Suku Dayak Manyaan dari Barito Timur, Kalteng, Indraswati Phd Kajian Komnas Perempuan dengan moderator Arimbi Heroe Poetri.

Lebih jauh Bu Gunarti mengatakan tanah air kita sekarang juga sedang diancam oleh penjajah sebangsa berwajah lain, sementara kaum muda melihat adat itu kuno. “Kami di sana mempertahankan sumber kehidupan kami tanah air kami, bukan semata-mata berjuang, tetapi mempertahankan bumi kami. Kita menikmati hidup dari tanah dan air, kita kebanyakan mungkin petani. Masyarakat adat itu punya tugas besar untuk menjaga bumi pertiwi, itu adalah hidup kita. Kita selayaknya hidup seperti bumi pertiwi, agar harapan kita, anak-anak bisa meneruskan perjuangan kita”

“Ketika kita sudah menikmati sumber daya alam dari bumi pertiwi, memaksa pejuang-pejuangnya itu sampai ada yang mati di medan laga. Dan sekarang bumi kita dipetak-petak mau didirikan pabrik-pabrik. Dimana tanggung jawab kita, sudahkah kita tidak mengharapkan lagi belas kasih dari ibu bumi?,” lanjut Bu Gunarti

“Kalau sekarang kita tidak berjuang, siapa lagi yang memperjuangkan anak kita besok? Karena kita hidup ini juga bagian dari perjuangan beliau-beliau yang sudah mati di medan laga itu. Apakah kita sebagai perempuan hanya bisa enak-enak? Ndak, tanggung jawab perempuan dan laki-laki sama. Bapak-bapak kadang di rumah kadang lebih banyak di luar rumah. Itu bisa saling dukung tergantung kesepakatannya, ” Bu Gunarti menjelaskan.

“Di tempat kami di Kendeng, kami berjuang jangan sampai ada industri masuk. Gunung Kendeng Jawa Tengah itu gunung karst, gunung penyimpanan air bersih. Gunung ini juga jadi penyangga Jawa Tengah sebagai lumbung pangan Nusantara. Ketika hari ini kita bersatu bersama-sama, pertanyaan saya dimana rasa kita senasib sepenanggungan itu? Bu Gunarti menggugah tanya.

“Sebenarnya banyak sekali tugas perempuan di luar rumah apalagi di dalam rumah, pengetahuan, keselamatan, kesempatan semua untuk anak cucu itu jadi banyak sekali beban perempuan,” tambah Bu Gunarti.
“Kita juga berjuang dengan cara swadaya, dengan uang sendiri-sendiri. Mengajari ibu-ibu bikin jamu, temu lawak campu beras. Kami juga mengajarkan tata cara adat pada anak-anak. Kami bersama-sama ibu-ibu membersihkan situs-situs bersejarah. Kami gelar aksi sama-sama, perempuan yang jadi barisan depan itu untuk menyiasati supaya kita bisa berhasil memenangkan bumi pertiwi tidak dengan cara kekerasan”

“Saya mulai tahun 2006 berhadapan dengan kepala desa, bupati sampai gubernur sering ketemu, tapi memang beliau-beliau itu merasa bahwa kita tidak ada. Teman-teman kami itu hampir hilang kepercayaan sama pejabat,” ketus Bu Gunarti.

“Kita harus berani menyatakan tidak pada industri. Sebab dimanapun industri tidak akan mencukupi, tapi pertanian dari jaman Majapahit sampai sekarang bisa mencukupi. Kita harus menjaga tanah dan air,” Bu Gunarti menegaskan. Mengakhiri pemaparannya Bu Gunarti melantunkan sebuah tembang jawa berisi himbauan sudah saatnya menghentikan eksploitasi ibu bumi.

Dalam paparannya Bu Mardiana mengatakan bahwa tantangan perempuan adat yang pertama ada di dalam keluarga. Lalu ancaman dari pihak warga yang pro-kontra tersebut. Dalam konsisi seperti itu yang bisa dilakukan perempuan adat harus selalu waspada akan terjadinya adu domba.

“Akibat dari pembabatan hutan adat, hak masyarakat dirampas, terjadilah pengrusakan bumi atau alam dan itu mengakibatkan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat. Hilangnya situs-situs budaya, hilangnya ilmu pengetahun dan keterampilan yang diwariskan turun-temurun. Akibat perampasan tanah masyarakat adat juga dikriminalisasi, keluar masuk penjara. Seperti apa yang terjadi di tempat kami.

“Kemarin kasus ini sudah dimasukkan dalam Inkuri Nasional namun setelah sebulan kami mengikuti Inkuri Nasional, sembilan orang masyarakat yang menyadap karet ditangkap dengan tuduhan masuk ke lokasi perusahaan. Duduk persoalan sebenarnya tidak demikian, perusahaanlah yang masuk hingga ke wilayah adat. Bukan masyarakat masuk ke wilayah perusahaan. Hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas,” cetus Bu Mardiana.
Bu Mardiana juga mengatakan akibat pembabatan hutan, lingkungan kekurangan air bersih dan itu berdampak pada perempuan dan anak. ****JLG