Dialog Nasional Pengakuan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Jakarta 16/12/2015 – Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA) gagal ditetapkan menjadi undang-undang sebagai payung hukum bagi masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama pendukung gerakan pemulihan hak-hak Masyarakat Adat mendorong Pemerintahan Jokowi-JK dan DPR RI agar mengagendakan pembahasan RUU PPHMA dalam Prolegnas Prioritas serta mengesahkannya pada tahun 2016.
Untuk tujuan mulia tersebut AMAN bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengadakan Talk Show di Royal Hotel, kawasan Kuningan Persada, Jakarta Selatan (16/12/2015).
Acara ini menghadirkan pembicara Junaedi Ibnu Jarta (Ketua DPRD Kab Lebak, perwakilan Pemerintah Daerah Bulukumba – Andi Iccang, Myrna Safitry – EPISTEMA Institute, Safrudin – PW AMAN Sulsel dengan moderator Emil Kleden.
Junaedi Ibnu Jarta, inisiator PERDA Adat Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang ditetapkan ((19/11/2015) lalu, mengatakan pentingnya pengakuan terhadap masyarakat adat untuk membangun dan menjaga keutuhan bangsa.
Setelah menceritakan berbagai hambatan saat memulai inisitif pembuatan peraturan daerah itu, Junaedi mengingatkan bahwa penetapan PERDA sebagai payung hukum masyarakat adat di tingkat kabupaten justru baru dimulai. “Perjuangan masih panjang, ini baru permulaan,” kata Junaedi.
Ketua DPRD Kabupaten Lebak ini kemudian memberi contoh. Ada persoalan ketika status desa dinas yang didominasi desa adat seperti di Kabupaten Lebak mau jadi desa adat. Sekarang statusnya desa dinas tapi dalam realitas di lapangan sebenarnya sudah desa adat. Hambatannya ada di UU No 6 yang mengharuskan adanya PERDA tingkat Provinsi, mengenai struktur kelembagaan adat. Ketika digiring melalui PERDA Status Desa yang isinya mengenai merubah nama desa dinas kemudian menjadi desa adat, tidak cukup hanya dengan peraturan kabupaten.
“Harus ada PERDA Provinsi yang mengatur struktur, termasuk mengenai masa jabatan kepala desa, ini menjadi ganjalan tingkat provinsi, padahal di tingkat kabupaten sudah selesai, sudah ada peraturannya,” papar Junaedi.
Junaedi menggarisbawahi bahwa Permen Agraria No 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan hak Komunal Atas tanah Masyarakat Hukum Adat. “Tolong dicatat Permen BPN atau ATR ini,” pinta Junaedi.
Junaedi melanjutkan, “kalau ternyata komunitas adat yang selama ini ada di dalam wilayah taman nasional, tidak bisa dikeluarkan oleh menteri kehutanan, tidak dipertegas dengan bukti catatan yang mengikat secara yuridis dan konstitusional dalam bentuk hak komunal. Tidak ada artinya kami buat peraturan daerah kalau ini tidak ditindak lanjuti secara tehnis, mohon pemerintah pusat Kementerian LHK termasuk BPN-ATR mendorong hal ini,” Junaedi menegaskan.
”Karena kalau berbicara tentang tata cara pengusulan atau pengajuan bagaimana bagaimana masyarakat adat dikeluarkan dari taman nasional, kita beberapa daerah di Indonesia sudah mengeluarkan landasannya – PERDA dalam hal ini. PERDA itu adalah undang-undang tertinggi di tingkat daerah, mengikat secara politik,” ujarnya
Menurut Junaedi tantangan terbesar masyarakat adat ke depan adalah bagaimana melestarikan budaya dan ketentuan hukum adat dipatuhi oleh masyarakat adat itu sendiri.
“Sebenarnya Pemerintah Daerah Bulukumba tidak bermasalah dengan masyarakat adat, namun ada persoalan antara pemilik modal dengan Komunitas Adat Amato,” ujar Andi Iccang.
Hampir senada dengan Junaedi, Safrudin dari PW AMAN Sulsel mengatakan ada banyak hal yang bisa dipetik dari kebijakan hidup masyarakat adat. Safrudin memberi contoh bagaimana kebijakan hidup di Komunitas Amatoa Kajang di Sulawesi Selatan, bukan hanya berguna buat mereka tapi juga untuk peradaban manusia itu sendiri.
“Makanya ketika didorong adanya Perda kami melihat seluruh regulasi itu bukan hanya kewajiban pemerintah daerah untuk dikukuhkan, tapi kami melihat lebih jauh lagi, ini ada manfaatnya untuk menjaga kelestarian alam membantu program pemerintah, tapi juga untuk seluruh umat manusia,” kata Safrudin dalam paparannya.
Sementara itu Myrna Safitry mengingatkan untuk apa membuat pengakuan jika budaya, hukum adat dan kearifan lokal tidak dihormati.
Emil Kleiden menarik kesimpulan perlu terus mendorong negara untuk hadir dan melindungi budaya masyarakat adat ****JLG