Janji Nawacita Masih Di Langit

Banyak Perubahan Tetapi Belum Banyak Yang Berubah
Catatan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2015

Kasmita Widodo, Deny Rahadian, Abdon Nababan, Wimar Witoelar
Kasmita Widodo, Deny Rahadian, Abdon Nababan, Wimar Witoelar

Jakarta 17/12/2015 – Menutup tahun 2015 AMAN mencatat ada beberapa kemajuan dalam perubahan kebijakan, tetapi tak banyak yang berubah. Hal ini disampaikan oleh Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam acara Dialog Nasional dan Catatan Akhir Tahun AMAN : “Percepatan Pengakuan & Perlindungan Keberadaan & Hak Masyarakat Ada di bilangan Kuningan (17/12/2015).

Dalam menyampaikan catatan akhir tahun AMAN 2015 ini Abdon Nababan didampingi Deny Rahadian Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Kasmita Widodo Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dengan moderator Wimar Witoelar.

Abdon Nababan mengatakan bahwa tahun 2015 adalah tahun pengharapan masyarakat adat. Bertemu dengan presiden yang membawa 6 komitmen Nawacita, seakan membuat kita kembali menjadi bagian dari republik dan bukan orang asing di tanah sendiri.

Judul catatan akhir tahun ini “Janji masih dilangit, kasak-kusuk perubahan terjadi di semua sektor tapi pengingkaran masih berlanjut” menggambarkan suasana batin kami. Apa yang sudah kami lalui sepanjang tahun 2015, bahwa janji sudah ada, tapi ternyata tidak semudah yang kita bayangkan untuk melaksanakan komitmen ini. Tantangannya luar biasa.

Tantangan yang kita hadapi selama tahun 2015. Pada awal tahun baru, tanggal 2 Januari, kami ke istana presiden ketemu Seskab Presiden waktu itu Andy Wijayanto membicarakan bagaimana melaksanakan 6 komitmen Nawacita. Ada kesepakatan memulainya dengan pembentukan Satgas masyarakat adat, sebagai tangan presiden untuk melaksanakan komitmen tersebut.

Soal Satgas ini juga kalau ditanya sudah sampai mana posisinya, saya tidak tahu. Rancangan sudah kita usulkan, nama-nama sesuai permintaan dari kantor presiden sudah diserahkan dan hingga 4 bulan lalu berita serta jawaban tiap bulan yang sampai ke kita sudah mau ditandatangani. Tapi kenyataannya sampai sekarang belum.
Tahun 2015 ditandai dengan geliat daerah. Banyak pemerintah daerah dan DPRD mengambil inisiatif untuk melaksanakan putusan MK No 35, ini yang membuat AMAN sedikit bahagia. Ada 15 daerah kabupaten dan tiga provinsi mengagendakan legislasi daerah.

Dua sudah selesai, yaitu Kabupaten Lebak dengan luas kira-kira 100.000 Ha akan segera diproses untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat. Ke dua Perda Kabupaten Bulukumba, diprakarsai oleh Pemkab, yang berjuang keras mempertemukan gagasan terbaik. Sekarang sedang diferivikasi untuk proses penetapannya. Daerah-derah lain sedang berproses. Dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Prov Kalsel , sedang mempercepat proses ini.

Kami melihat banyak perubahan tapi belum banyak yang berubah. Salah satu yang belum berubah itu adalah soal birokrasi dan sektoralisme. Dugaan kami bahwa Satgas masyarakat adat sebenarnya tidak lagi urusan komitmen presiden. Tapi bagaimana membereskan ini, karena sektor-sektor ini belum bisa duduk dan memperbincangkan apa yang bisa menjadi komitmen bersama. Birokrasi dan kebijakan sektoral masih jauh, presiden perlu memberi perhatian bagaimana membereskan hal ini.

Tentang Nawacita, yang pertama adalah Tap MPR no 9 tahun 2001, di dalamnya terkait Putusan MK 35, tapi arahnya belum jelas. Ditengah-tengah Putusan MK 35 yang cukup jelas, justru muncul kebijakan-kebijakan yang mengaburkan putusan MK 35 . Memperkenalkan terminologi baru tentang hak komunal, ketika ditanya apakah yang dimaksud Permen ATR 9/2015 apakah itu hak ulayat atau terkait UUPA, ternyata tidak. Ini justru mengaburkan arah yang sudah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ke-dua soal komitmen RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat. Kami rasa ini agak aneh, tadinya kami berharap sudah masuk agenda Prioritas Prolegnas 2015, tapi tidak masuk. Kami tanya kenapa bisa begitu, ternyata usulan legislasi pemerintah tahun 2015 itu adalah rezim lama, rezim baru adalah tahun 2016. Lalu ada raker antara Baleg DPR RI dengan Kemenkumham, ternyata pemerintah tidak memasukkan RUU Masyarakat adat. Tapi dalam draf usulan Baleg ada usulan RUU masyarakat adat.

Mudah-mudahan rapat-rapat antara pemerintah dan DPR RI memastikan RUU Masyarakat Adat ini masuk Prolegnas 2016. Kalau tidak, bahaya lagi. Ada kondisi yang kritis karena ini masuk komitmen pemerintah.

Ke-tiga, soal penyelesaian konflik-konflik agraria. Saat ini kami sedang melihat apakah penyelesaian konflik-konflik agraria ini akan diselesaikan dengan RUU Pertanahan yang sekarang dibahas di DPR. Atau akan ada rancangan undang-undang baru tentang ini, juga belum jelas. Mudah-mudahan ini bisa kita kawal dalam pembahasan.

Komitmen ke-empat soal RUU pertanahan dan konflik agraria.

Ke-lima soal komisi independen menyangkut masyarakat adat. Komisi independen ini untuk komitmen jangka panjang. Dimulai dengan Satgas Masyarakat Adat untuk mempersiapkan komisi tersebut. Ini soal harapan kita mengenai Satgas masyarakat adat, mudah-mudahan menjadi hadiah akhir tahun dan bisa memulai tahun 2016 dengan suasana yang lebih optimis.

Ke-enam soal UU Desa, dalam perjalanannya selama satu tahun kami nilai desa adat dalam UU Desa belum menjadi prioritas.

Kami merasa walaupun perubahan itu banyak tapi yang nyata berubah itu masih sedikit tapi kami apresiasi Presiden Jokowi. Karena dalam situasi kecewa, justru presidenlah yang menyebutkan masyarakat adat.

Di Paris baru-baru ini kami (AMAN) mendapatkan simulasi pidato presiden yang akan disampaikan di global leader scope. Pada pidato resmi yang menyatakan komitmen presiden untuk penurunan 29% emisi karbon itu, akan bergotong royong dengan masyarakat termasuk masyarakat adat. Saya terkejut karena sudah selayaknya beliau menyatakan itu. Sebenarnya itu terjadi bukan hanya di Paris, ketika pidato kenegaraan bulan agustus lalu beliau juga menyebutkannya dan terakhir ketika beliau pidato pada hari HAM di Istana Negara.

Presiden secara pribadi menaruh ini pada agenda penting, tapi presiden masih kesulitan menggerakkannya. Karena itu kami membayangkan pada tahun 2016 nanti presiden akan memperkuat kepemimpinannya dan membongkar sektoralisme yang masih terjadi. Presiden dengan kepemimpinan yang lebih kuat menepati komitmen beliau.

Terakhir adalah catatan tentang rekonsiliasi masyarakat adat dan negara dengan membebaskan korban-korban kriminalisasi yang dilakukan oleh negara. “Sampai sekarang masih ada 11 orang ditahan di balik jeruji. Kami ingin membuat catatan khusus tentang ini. Presiden memang berkomitmen ingin membebaskan korban-korban kriminalisasi. Perlu menjadi agenda penting karena setiap hari kami dapat pesan ”kapan kami dibebaskan dari penjara”
“Ini akhir catatan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan terkait Satgas masyarakat adat.

Demikian catatan perjalanan AMAN, perjalanan gerakan masyarakat adat 2015, ada yang menggembirakan, ada yang memberi harapan, tapi ada juga yang mengecewakan dan penuh ketidakjelasan” Abdon Nababan menegaskan.

Selanjutnya Deny Rahadian dari JKPP menyampaikan catatan pengaturan ruang kebijakan tanpa wujud pengakuan politik ruang. Tahun 2015 dan sebelumnya sudah hadir kebijakan baru – revisi kebijakan soal ruang ini, tapi belum signifikan dalam menyelesaikan konflik tata ruangan yang ada di Indonesia.

Hingga akhir tahun 2015, JKPP dan kawan-kawan mengkonsolidasikan tata pemetaan partisipatif dari simpul jaringan dan CSO sudah mengkonsolidasi sekitar 9,1 juta Ha wilayah yang dipetakan, 7,6 juta diantaranya wilayah adat. Realitasnya 5,6 juta Ha tumpang tindih dengan kawasan hutan, 2,7 masih tumpang tindih dengan HGU. Berbagai kebijakan yang hadir belum menyelesaikan persoalan ruang.

JKPP dan kawan-kawan mitra jaringan juga fokus mengawal kebijakan satu peta dan ternyata walaupun presiden kita menyampaikan bahwa kebijakan satu peta harus segera diimplementasikan. Tapi untuk menurunkan kebijakan itu ke tingkat kementerian terlalu berat.

Kalau di tingkat menteri itu sepakat bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan konflik, tapi di tingkat Eselon 2 ke bawahnya masih berat untuk ditembus. BIG selama ini masih berkutat dengan persoalan teknisnya, kami sedang membangun infrastruktur dan kami sudah mengimplementasikan kebijakan satu peta tersebut.

Sektor-sektor lain masih membuat peta sendiri, membuat standard sendiri, sehingga bagaimana mengintegrasikan seluruh peta itu dalam kebijakan satu peta agar tidak terjadi tumpang tindih konflik ruangan belum bisa dilaksanakan. Adalah tugas pemerintah untuk segera mengimplemnetasikannya ke dalam kebijakan satu peta tersebut.

Kebijakan UU Desa, dari 74 ribu desa, baru 19% yang sudah definitif, sisanya masih indikatif, inilah yang masih menimbulkan konflik antar desa dan masyarakat. Kebijakan rencana tata ruang yang melibatkan masyarakat dalam peran serta penyusunan revisi tata ruang provinsi dan kabupaten, belum bisa terlaksana. Peran serta masyarakat hanya ditunjukkan pada konsultasi publik, padahal ada beberapa kebijakan misalnya UU Desa dan kawasana pedesaan yang bisa menjadi rujukan dalam perencanaan tata ruang wilayah. Peta partisipatif masih diakui setengah hati.

Di lain pihak peta partisipatif banyak digunakan sebagai dasar proses Inventarisasi, Identifikasi Verifikasi dan Registrasi dalam mengambil kebijakan. Misalnya persoalan perhutanan sosial menggunakan Peta Indikatif Arahan Kehutanan Sosial (PIAPS), peta partisipatif disinkronisasikan dalam kebijakan tersebut dari 6,8 juta hektar yang sudah kita singkronisasikan ada 3,6 juta hektar ada di dalam peta PIAPS. Ternyata PIAPS yang masih terus berubah. Ini yang kita tunggu sampai sekarang, seperti apa peta PIAPS yang akan segera dilaunching KLHK.
Peta partisipatif digunakan sebagai indikatif dalam tata batas desa.

Untuk pendukung yang baru 19% (definitif) itu, peta partisipatif diharapkan menjadi salah satu indikatif dalam penata batasan desa. Hingga saat ini ada beberapa Pemda yang sudah berinisiatif. Memang tidak semua Pemda negatif, ada Pemda yang sudah berinisiatif menggunakan peta paritispatif untuk mendefitifkan desa-desanya seperti Wonosobo, Luwu Utara, tetapi masih jauh ada 36 ribu yang tersisa.

Dilain pihak itu soal implementasi untuk peraturan bersama 4 kementerian dan lembaga yang bisa menjadi salah satu peluang masyarakat untuk mendapatkan haknya melepaskan diri dari kawasan hutan. Persepsi terhadap peraturan bersama ini masih berbeda antara 4 kementerian dan lembaga tersebut. Yang terakhir pembuatan petunjuk pelaksanaan dan teknis bersama akan diberikan kebijakan oleh satu Perpres hingga saat ini belum bisa diselesaikan.

Kebijakan satu peta masih dianggap setengah penting, ini juga masalah perspektif dari masing-masing kementerian yang berbeda, LHK menganggap bahwa satu peta itu adalah peta dasar, BIG juga hanya berfungsi sebagai pengumpul, RTRW melihat kebijakan satu peta untuk mengatur fungsi dari tiap peta yang ada.

Kasmita Widodo dari BRWA menyampaikan catatan penting soal kebijakan sektoral yang menghambat jalannya upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat secara keseluruhan. Sektor kehutanan paling maju dalam konteks merespon peta-peta wilayah adat. KLHK telah menjadikan peta wilayah adat menjadi salah satu komponen dalam penyusunan kebijakan perhutanan sosial.

Tapi itu bukan tanpa catatan, bahwa hutan adat atau wilayah adat yang menjadi salah satu penyusun untuk hutan adat, masih tidak seluruhnya. Karena peta indikatif kehutanan sosial diarahkan pada areal tanpa ijin. Yang sudah memiliki ijin tidak masuk. Sementara hampir 80% wilayah adat overlap dengan kawasan hutan. Kondisi ini tentu saja tidak hanya di wilayah konservasi dan hutan lindung tapi juga di wilayah-wilayah yang sudah ada ijin kehutanan, di situ perusahaan-perusahaan sudah punya ijin 25 juta hektar.

Sementara hutan adat sampai akhir tahun ini belum satu kebijakanpun untuk mengakuinya. Belum ada tanda-tanda kapan kebijakan itu akan muncul. Semua itu perlu dikawal karena jika tidak maka areal-areal yang sudah ada ijin tidak menjadi bagian penting dalam kebijakan ini. Padahal di KLHK sendiri punya direktorat yang mengurus konflik teritorial.

Ke-dua, terkait jebakan sektoral. Karena kalau ini kita teruskan, di sini kita akan berurusan dengan kementerian lain seperti sektor tambang misalnya. Pertambangan tidak muncul ke permukaan, tapi kapling-kapilng tambang di wilayah adat sangat luar biasa.

Dibutuhkan satu kebijakan payung yang akan mengatur semua kekayaan alam di wilayah adat. Satgas sebagai usulan AMAN penting untuk segera direalisasi supaya sektor-sektor itu bisa berkumpul mengurus hak-hak terkait masyarakat adat. Sebenarnya BRWA menyiapkan peta kerjanya. Ada 6,8 juta hektar wilayah adat yang teregister di BRWA. Jadi kalau Satgas itu masih di langit kaki-kakinya sudah disiapkan BRWA. Kalau bisa direalisasi angka 6,8 juta bukan angka kecil untuk peta kerja Satgas.

“Saya harap presiden dan biriokrasi di bawahnya tidak ada keraguan lagi bahwa masyarakat sipil sebenarnya membantu mewujudkan apa yang menjadi janji-janji mereka. Masyarakat sipil bekerja lebih dari 20 tahun dalam konteks pemetaan wilyah adat, menunggu satu kebijakan yang memayungi itu dan kita akan bekerja bersama dari Sabang sampai Merauke untuk menyiapkannya. Tinggal mau apa tidak, ada tidak political will yang baik untuk melakukan semua itu” tutup Kasmita Widodo.****JLG