UU Masyarakat Adat Perlu Disahkan Bukan Hanya Untuk Masyarakat Adat – Pemerintah Juga Butuh

Ada Apa Dengan RUU Masyarakat Adat

Narasumber H.M Lutfi, Myrna Safitri, Abdon Nababan, Sonny Keraf dan Erasmus Cahyadi
Narasumber H.M Lutfi, Myrna Safitri, Abdon Nababan, Sonny Keraf dan Erasmus Cahyadi

Jakarta 27/1/2016. Pengesahan RUU Masyarakat Adat diperlukan tidak hanya untuk masyarakat adat tapi juga bagi pemerintah daerah sebagai sebuah arahan yang jelas untuk bisa mengatur tentang hutan adat.
“Pemerintah pusatpun demikian, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) mengatakan sulit untuk mengambil wilayah hutan adat ketika masih ada perdebatan apakah pengakuannya itu harus berbentuk Perda atau SK kepala daerah,” papar Myrna Safitri dalam acara “Ada Apa Dengan RUU Masyarakat Adat” menyoal seluk beluk mengapa RUU Masyarakat Adat tidak masuk dalam daftar 40 RUU Prioritas 2016.

Artinya ada kebutuhan pemerintah juga untuk itu, karena menjadi sebuah kendala untuk mengalahkan pengakuan hutan adat. Padahal RPJMN 2015-2019 pemerintah sudah mematok target 12,7 juta hektar kawasan hutan akan diberikan untuk rakyat, sebagian berupa hutan adat, “bagaimana cara mencapai terget itu jika pengakuan terhadap hutan adat terkendala hal seperti ini,” lanjut Myrna.

Putusan Mahkamah Konstitusi sudah jelas merupakan pengakuan, tinggal statusnya bahwa masyarakat adat itu adalah subyek hukum. “Bagaimana elaborasi lebih lanjut dari subyek hukum ini, bagaimana kriteria yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar, kitab-kitab mengenai itu bisa lebih operasional lagi. Seharusnya melalui RUU Masyarakat Adat ini bisa memberikan arahan operasional,” terang Myrna.

Disamping Myrna Safitri narasumber lainnya adalah Abdon Nababan Sekjen AMAN, H.M Lutfi A. Mutty, Myrna Safitri, A Sonny Keraf dengan moderator Erasmus Cahyadi Direktur Advokasi AMAN. Acara berlangsung di Laconda Cafe’, Jakarta Pusat.

Abdon Nababan yang secara khusus membahas implementasi konstitusi dan landasan hukum bagi masyarakat adat menyatakan bahwa dari semua persoalan yang ditemukan di lapangan terjadi karena tidak ada penghormatan terhadap kebhinekaan kita sebagai bangsa. “Selama ini hubungan antara masyarakat adat dengan pemerintah sebagai pelaksana dari negara tidak harmonis, impilikasi ini membahayakan konsep Trisakti Sukarno atau Nawacita,” terang Abdon.

H.M Lutfi yang juga anggota DPR dari Fraksi Nasdem menyampaikan di DPR tidak ada istilah meneruskan draf RUU dari periode sebelumnya. Jika draf RUU Masyarakat Adat sudah sampai tahap Pasus DPR periode sebelumnya, tidak otomatis dilanjutkan. Beberapa fraksi malah menyatakan akan mendahulukan RUU yang mendorong penguatan ekonomi.

“Situasi legislasi kita ini seperti tari poco-poco, maju satu langkah mundur dua langkah,” kata H.M Lutfi. “Masih ada kesempatan bagi AMAN untuk melakukan lobi dengan pemerintah dan DPR agar RUU Masyarakat Adat jadi inisiatif pemerintah,” terangnya.

Sonny Keraf menyoroti tentang RUU Masyarakat Adat yang seharusnya mudah masuk Prolegnas 2016. “Karena kita tahu dalam Nawacitanya Jokowi itu ada unsur Trisakti, negara hadir untuk melindungi hak-hak masyarakat pinggiran dalam arti politis idiologis. Masyarakat adat berada di kelompok-kelompok pinggiran yang selama ini negara abaikan,” papar Sonny Keraf.

Lebih jauh Keraf memaparkan ciri identifikasi masyarakat Adat antara lain masyarakat adat terikat dengan tanah spesifik dan ada hubungan sangat eksistensial yang melekat dengan tanah. Ketika dia tercerabut dari tanah, dari terirorinya, dia kehilangan seluruh eksistensinya.
Adanya asal-usul garis keturunan yang sama dan itulah yang membentuk ras atau etnis.

Politics Of Recognation

Adanya budaya khas tersendiri yang sangat komprehensif holistik, mencakup agama, pola hidupnya, tradisi, ritus, adat, etika nilai perilaku, ada tabu, ada upacara ketika ada orang melanggar tabu, ada cara hidup dalam arti sumber subsistensinya yang ada kaitannya dengan tanah atau wilayah pesisir.

Dia akan kehilangan arah dan jati dirinya, ketika dia berubah pola subsistensinya. Ada budaya yang khas mengikat mereka sekaligus membedakannya dari masyarakat adat lain. Bahasa juga membedakan mereka dari kelompok yang lain.

Dalam kaitannya dengan itu menjadi sangat jelas, bahwa ini justru sangat klop dengan Trisakti. Berdaulat secara politik, artinya harus ada pengakuan akan hak dan eksistensi masyarakat adat. Pengakuan akan aksistensi hidup dan kehidupan yang khas dengan segala identitas yang melekat pada dirinya. Identitas budaya, identitas asal-usulnya, identitas yang terkait dengan tanahnya dan identitas dengan bahasanya.

“Di situ ada identity of politics. Pengakuan oleh negara adalah politics of recognation, pengakuan yang unik, yang khas dari sebuah masyarakat adat meliputi aspek-aspek tersebut,” Sonny Keraf memaparkan.****JLG