Kartini Kendeng Cor Kaki Dengan Semen Di Depan Istana
Jakarta 13/4/2016 – Sebagai bentuk protes, sembilan perempuan dari Pegunungan Kendeng (Kartini Kendeng) menyemen kaki mereka di depan Istana Merdeka (12/4/2016). Pada tanggal 13/4/2016 sekitar pukul 18-an aksi diakhiri dengan penuh haru dan isak tangis. Sesaat berselang tiba-tiba muncul pelangi di arah timur tugu Monas bersamaan dengan turunnya hujan gerimis di sekitar tempat aksi.
Apakah munculnya pelangi dan rintik hujan tersebut sebagai pertanda baik bagi para warga Pegunungan Kendeng? Masih harus menunggu realisasi pertemuan antara warga Pegunungan Kendeng dengan Presiden Jokowi terlaksana. Yang jelas warga Samin Pegunungan Kendeng masih percaya dan menaruh harapan pada pemerintah dapat mengabulkan harapan mereka.
Cor semen di kaki ibu-ibu petani dibuka setelah Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mendapat khabar bahwa Presiden Jokowi akan mengirim perwakilannya menemui mereka.
Tak lama kemudian sekitar jam 18.30 WIB, Teten Masduki Kepala Staf Kepresidenan bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno menemui sembilan petani perempuan yang melakukan aksi protes di seberang Istana Negara tersebut. Teten mengatakan bahwa presiden sudah mengetahui aksi protes dan tuntutan yang diajukan oleh mereka. Presiden khawatir akan kondisi kesehatan sembilan petani perempuan tersebut. Jokowi pun meminta agar belenggu semen yang melingkar di kaki itu dibuka. Teten berjanji akan mempertemukan sembilan pejuang perempuan itu dengan presiden
Peristiwa pengecoran kaki sembilan ibu-ibu petani Rembang ini merupakan lanjutan dari aksi hidup di tenda selama 664 hari di depan pintu masuk-keluar alat berat pembangunan pabrik Semen Indonesia sejak (1/6/ 2014) . Mereka mengalami intimidasi, difitnah dapat bayaran, bahkan pernah digempur polisi.
Sembilan perempuan itu berasal dari Pati, Grobogan, dan Rembang. Mereka adalah Sukinah, Supini, Murtini, Surani, Kiyem, Ngadinah, Karsupi, Deni Yulianti, dan Rimabarwati menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. di wilayahnya.
“Saya berharap pak presiden bisa memberikan keadilan kepada kami semua seadil-adilnya dan memperhatikan keadaan seluruh masyarakat di sana dengan imbas kalau pabrik semen itu didirikan di Pegunungan Kendeng harus mempertimbangkan apa akibatnya. Kami di sini melakukan aksi seperti ini, semen kami lawan dengan semen (mengecor kaki). Kami tidak bisa bicara sepintar mereka, tidak memiliki nyali sehebat mereka,” kata Deni Yulianti asal Grobogan
“Kami hanya mampu memperjuangkan hak-hak kami, bahwa kami punya hak hidup, anak cucu kami punya hak hidup kami butuh makan. Di sana adalah sumber mata air. Jika musim kemarau sudah beli air. kami petani kecil penghasilan kecil, kalau musim kemarau kami harus beli air. Apa itu namanya menyejahterakan masyarakat? Kami menderita dengan itu semua, apa kita makan semen? kan tidak. Betul pembangunan memang butuh semen, tapi tolong dipertimbangkan dampak kerusakan lingkungan yang ada,” kata Deni Yulianti sambil berlinang air mata.
Akhir tahun 2015 warga Pati tak sabar menantikan putusan sidang di Semarang, Sukinah bersama puluhan Ibu dan Bapak didampingi masyarakat peduli Kendeng, melakukan aksi jalan kaki dari Rembang ke Semarang dengan semangat “Warga Kendeng Menjemput Keadilan”. Hakim akhirnya memenangkan para petani, rencana penambangan di Pati Utara akan dibatalkan.
Namun, perjuangan belum selesai. Kawasan Pati Utara asal Gunretno untuk sementara memang terbebas dari ancaman. Sebab sebagaimana lazimnya kelakuan pengusaha dan penguasa memang selalu punya akal bulus sewaktu-waktu datang kembali ketika warga lengah dan putus asa.
Aksi sindiran ini memang membahayakan kesehatan Sukinah dan kawan-kawannya (Kartini Kendeng) namun bisa jadi ini semacam simbol perjuangan yang harus terus berlanjut khususnya bagi kaum perempuan.
Sandra Moniagi Komisioner Komnas HAM yang hadir menjenguk para Kartini Rembang di depan istana negara mengatakan bahwa aksi ini bisa juga dikatakan sebagi simbol dari rasa frustasi yang sudah berjuang lewat berbagai tataran tanpa kekerasan tapi belum mendapat respons yang semestinya dari negara. “Ibu-ibu ini sampai meninggalkan anaknya, meninggalkan rumahnya, meninggalkan sawahnya demi memperjuangkan keadilan. “Menurut saya ini simbol masyarakat yang sudah begitu kesal, kecewa dengan kelambatan respons. Ini sudah bentuk self torture (menyakiti diri sendiri) berarti memang ada hal yang sudah sangat serius. Saya berharap semua pihak melihat ini dengan hati dan pikiran,” himbau Sandra Moniaga.
Sementara itu Nur Amalia aktivis perempuan dan pemerhati hukum mengatakan,” seharusnya para Kartini Kendeng mendapat dukungan penuh dari seluruh aktifis perempuan dan hadir di sini, juga perempuan adat. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari mereka, paling tidak semangat pantang menyerah dari sembilan Kartini Kendeng ini,” kata Nur Amalia.****JLG