Jangan Biarkan Ina Seko Sendiri!

Lahan Produktif Seko Akan Tenggelam Jika Pembangunan PLTA Diteruskan

Masyarakat Adat Seko aksi menolak pembangunan PLTA PT Seko Power Prima & PT Seko Power Prima Prada
Masyarakat Adat Seko aksi menolak pembangunan PLTA PT Seko Power Prima & PT Seko Power Prima Prada

Masamba 23/4/2016 – Kontroversi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Seko Tengah, Luwu Utara, kembali mencuat dalam beberapa pekan terakhir, baik di warkop-warkop, terlebih di dunia maya. Penyebabnya bukan lagi karena duo PT Seko Power Prima, dan PT Seko Power Prima Prada, perusahaan yang akan membangun PLTA ini, kembali ngotot untuk meneruskan “penelitian” di Seko Tengah sana.

Bukan lagi itu. Melainkan karena sejumlah pihak yang selama ini di garda terdepan menolak PLTA, di anggap melunak, bahkan ada diantaranya yang telah terang-terangan menyokong duet perusahaan kembar satu bapak itu.

Yang melunak ini dianggap telah masuk angin karena sering jalan-jalan malam dan lupa minum obat antangin. Mungkin juga karena sudah pulang plesiran dari Pulau Sumatra. Atau mungkin ada hal lainnya, sehingga ia menulis dengan terang dan jelas di fesbuk, PLTA di pulau S itu memberi manfaat yang baik, begitu ia berkata, kurang lebih.

Lahan produktif 25 hektar milik warga di Sae, Seko Tengah akan di tenggelamkan jika pembangunan proyek listrik ini diteruskan. Lahan ini terdiri dari sawah dan kebun. Dari sawah inilah sebagian beras Tarone berasal, beras lokal kelas premium yang diburu banyak orang.

Dari kebun itu pula kakao (biji coklat) yang perkilonya 20 persen berat dibanding kakao di tanah datar. Tentu kualitasnya lebih baik dari kakao daerah lain.

Kopi Seko yang sudah lazim kita temui di warkop-warkop kota Makassar, apalagi di seputaran Luwu Raya, juga berasal dari kebun ini. Rasanya khas. Kopi Seko sebenarnya punya sepupu satu lagi, yakni kopi Rongkong. Anda perlu mencoba menyeruput kopi ini, tak kalah enak.

Pada tahun 2007 silam, era Pak Luthfi memimpin Luwu Utara, Sae Seko Tengah dilanda krisis pangan. Untungnya wilayah tetangga bisa menyuplai kebutuhan masyarakat di kampung ini. Untuk keperluan sehari-hari,  warga setempat kemudian membeli bahan pangan di wilayah terdekat.

Lalu, untuk mencegah krisis pangan berkelanjutan, pemerintah kemudian berinisiatif membuka lahan pertanian. Sejak lahan itu di buka, warga Sae hidup berkecukupan. Mereka tak perlu lagi membeli bahan pangan. Bahkan, hasil produksi dari lahan itu dapat mereka jual untuk kebutuhan pokok lainnya,  sampai sekarang.

Lahan itu akan tenggelam jika pembangunan PLTA diteruskan

Warga Amballong, Longa, dan Seko Tengah lainnya bertani dan berladang di sekitar sungai Betue. Ratusan hektar lahan telah mereka kelola turun temurun. Disinilah sumber penghidupan mereka. Dari tanah-tanah waris moyang itu, mereka menyambung nyawa.

Jika PLTA diteruskan, lahan-lahan yang berada di tepi sungai Betue ini terancam ditutup. Pasalnya, akan masuk dalam “zona aman” bendungan raksasa untuk menyokong mesin pembangkit listrik nantinya. Zona yang tentu dikuasai pemilik perusahaan.

Lahan produktif itu juga akan ditutup saudara-saudaraku, belum lagi ancaman masuknya investasi tambang menyusul pembangunan PLTA tersebut.

Dan lain-lain. Bagi saya, bukan hanya warga Seko Tengah yang berhak berbicara YA atau TIDAK. Bukan hanya mereka yang berhak menolak pembangunan PLTA itu. Sebagai perwujudan dari perjuangan keadilan, perjuangan atas hak-hak masyarakat, perjuangan atas dasar kemanusiaan, maka kita mesti mendukung, mendorong dan berdiri bersama mereka untuk menolak PLTA ini.

Jangan biarkan mereka sendiri.!!​ *** Zulfiqar Rapang – Aktivis masyarakat adat Tana Luwu, Jurnalis