Buku Petualangan Unjung Dan Mbui Kuvong & Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Membaca sembilan kisah yang menjadi bagian dari buku Petualangan Unjung Dan Mbui Kuvong (dua nama tokoh dalam buku ini) adalah suatu ringkasan kekayaan sastra lisan suku Punan Tuvu’ yang bermukim di sepanjang Sungai Tubu dan Sungai Malinau Kalimantan Utara.
Kisah-kisah yang memaparkan situasi-situasi, tokoh-tokoh atau tempat-tempat yang menjadi bagian dari kebudayaan Punan. Dongeng dan cerita-cerita dalam buku ini menyimpan pengetahuan tentang diri sendiri, sejarahnya, kepercayaannya, nilai-nilai dan dunia di sekitarnya.
Sebagai dongeng legendaris berisi kisah-kisah ajaib, situasi-situasi yang tidak lazim, nakal dan terkadang jenaka. Cerita-cerita yang menggambarkan wilayah, hutan, gunung, gua, sungai, tatanan sosial, kehidupan keluarga, pembuatan atap dedaunan atau pembuatan sumpit (upit), bahkan pesta-pesta menutup acara penting dalam komunitas Punan. Di balik cerita mitos dan situasi yang dipaparkan mengandung satu pesan moral, suatu pengajaran yang bersifat gamblang.
Dongeng dan mitos Punan ini menceritakan kepada pembaca tentang suatu masa ketika manusia, tumbuhan dan hewan hidup erat berdampingan antara satu dan lainnya. Satu masa yang belum lama lampau dan terkadang kita merindukan kehidupan seperti itu. Bentangan hutan alam terpelihara selaras dengan kebutuhan warganya secara berkesinambungan.
Buku yang disusun oleh Nicolas Ce’sard, Antonio Guerreiro, Antonia Soriente bermula dari gagasan “Fonologi Bahasa Daerah Dayak Punan Tuvu” yang dikerjakan oleh Dollop Mamung pada tahun 1981 yaitu Bah Ngguh Punan Tuvu’ sebuah Kamus Bahasa Punan Tuvu’ dilengkapi dengan cerita rakyat.
Menurut Dollop Mamung buku ini sudah dikerjakan secara maksimal. Para generasi muda dan mahasiswa Punan bisa memanfaatkannya sesuai dengan themanya. Menanggapi buku yang dibagikan Dollop Mamung kepada pemerintah Provinsi Kaltara dan Pemkab Malinau mengakui manfaat buku yang berisi Fonologi Budaya, walau ada perbedaan pada dasarnya satu tungku, satu rumpun, satu bahasa. Dollop Mamung yang juga adalah Pjs Ketua Lembaga Adat Punan Kalimantan Timur berharap anak-anak muda Punan ke depan bisa mengaktifkan kembali bahasa Punan dengan mengacu kepada buku ini sekaligus memperkokoh keabsahan penghormatan, pengakuan identitas terhadap hak atas tanah sumber daya alam budaya leluhur yang sejatinya hak milik nenek moyang suku Punan.
Nicolas Ce’sard bersama Antonio Guerreiro, Antonia Soriente mengulas teori-teori yang digunakan untuk meninjau keberadaan, perihal dan asal-usul susu-suku di Borneo meskipun hipotesis yang digunakan belum mempertimbangkan genetika, bahasa dan budaya secara lebih dalam.
Mengenali Keberadaan Masyarakat Adat
Namun di balik penerbitan buku ini ada satu harapan masyarakat adat kepada pemerintah dan masyarakat luas agar bisa melihat hal yang lebih mendasar lagi bahwa buku ini ikut memberikan sumbangan besar yaitu dokumentasi terhadap keberadaan masyarakat adat di Nusantara khususnya Suku Punan di Kalimantan Utara sebagaimana halnya disampaikan oleh Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam sambutannya.
Pengertian “Indigenous Peoples” maupun konsep “Kesatuan Masyarakat Hukum Adat” dalam kurun waktu 17 tahun terakhir berkembang sangat pesat. Banyak terjadi perubahan kebijakan tingkat nasional dibarengi dengan munculnya revisi terhadap program-program pembangunan yang menimbulkan banyak masalah bagi Masyarakat Adat semasa periode Jendral Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Perkembangan positif tersebut memberi tantangan baru untuk menemu-kenali secara faktual di lapangan Siapa Masyarakat Adat dan bagaimana mereka diakui secara nyata dalam hukum maupun dalam sistem administrasi pemerintahan Indonesia.
Ada dua elemen paling pokok dalam penentuan keberadaan suatu Kesatuan Masyarakat Adat atau Indigenous Peoples yaitu identitas budaya dan wilayah hidup bersama. Kedua elemen ini sejalan dengan perjalanan sejarah masyarakat adat yang bersangkutan, akan menciptakan elemen-elemen pendukung seperti hukum dan kelembagaan adat, ekspresi budaya dan spiritualitas berupa situs-situs – seremoni dan pranata lainnya. Sejarah identitas budaya dalam suatu wilayah tertentu merupakan basis klaim terhadap keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya.
Bahasa merupakan bagian paling penting dari elemen identitas budaya, karena melalui bahasa inilah masyarakat adat menyatakan dirinya ada, hadir menegaskan sejarahnya, menyampaikan pikiran, aspirasi atau cita-cita sosialnya secara kolektif. Jika bahasa hilang bukan hanya mengaburkan identitas budaya saja, juga menghilangkan sejarah dan keterikatan mereka dengan leluhur dan pada akhirnya juga hilangnya basis klaim terhadap hak-hak mereka sebagai masyarakat adat ****JLG