Putusan MK 35” Koreksi Fundamental Terhadap Produk Hukum Yang Mendiskriminasi Masyarakat Adat

Simposium Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum II

YanceArizona_Sambut_3thn_PutusanMK35
Yance Arizona Ketua Penyelenggara Simposium Masyarakat Adat II Menyampaikan Sambutannya

Jakarta 16/5/2016 – Yance Arizona Ketua Penyelenggara Simposium Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum II yang berlangsung di Aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila (16/5/2016) dalam sambutannya mengatakan bahwa Putusan MK 35 merupakan satu koreksi fundamental yang dilakukan oleh Mahkama Konsititusi terhadap banyaknya produk hukum terutama undang-undang yang mendiskriminasi menimbulkan kezaliman terhadap masyarakat adat.

Putusan tersebut setidaknya mengandung tiga peta penting, pertama adalah penegasan bahwa masyarakat adat adalah, subyek hukum, penyandang hak sesuai pasal 18 b ayat 2  UU 45.

Ke-dua adalah pengakuan terhadap keberadaan hutan adat sehingga hutan adat harus dikeluarkan dari hutan negara.

Ke-tiga sebelum adanya undang-undang khusus mengenai masyarakat adat apalagi sedang diupayakan, maka berbagai produk hukum dan peraturan perundang-undangan lain, apakah peraturan penting, peraturan daerah bisa dipergunakan sebagai instrumen untuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Kalau kita lihat hingga hari ini sudah 3 tahun Putusan MK No 35 semestinya ada penetapan hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masih belum sejengkal tanahpun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembalikan hutan-hutan adat yang selama ini terlanjur diklaim sebagai hutan negara. Mengembalikan hutan-hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, tempat mereka menggantungkan kehidupan,” kata Yance dalam sambutannya.

Lanjut Yance, demikian juga dengan Undang-Undang Desa yang mencoba mengakomodasi Desa Adat. Kalau kita lihat dari Undang-Undang Desa maka penataan Desa dan Desa Adat itu seharusnya sudah dilakukan pada tahun 2015, sekarang sudah tahun 2016 prosesnya lambat.

Sementara itu kekerasan dan perampasan terhadap hak masyarakat adat terus berlangsung, AMAN mencatat sampai tahun 2015 ada 217 yang dikriminalisasi terutama yang berkaitan dengan kawasan hutan.

“Pada sisi lain janji Presiden Joko Widodo melalui Nawacita untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan membentuk Satgas Masyarakat Adat sampai hari ini juga belum terwujud,” kata Yance Arizona menutup sambutannya.

Nusantara dan Masyarakat Adat

Sementara itu Dekan Fak.Hukum Univ. Pancasila,Prof. DR Ade Saptomo dalam sambutannya mengatakan pada tahun 1997/98 dia dilatih praktek lapangan untuk mengetahui secara persis  bagaimana masyarakat adat itu mengelola sumber daya alam. Kalau dilihat dari hubungan hukum adat itu hasilnya adalah mahasiswa sebatas mengetahui dan mengerti.

“Tapi yang dibutuhkan dalam pembaharuan hukum berbasis masyarakat adat itu tidak saja mengetahui, mengerti tetapi juga memahami dan menghayati. Untuk tingkat mengetahui dan menghayati itu lanjut Prof. Dr Ade Saptomo metode-metode penelitian seperti antropologi, sosiologi itu harus paham betul.

“Kalau sebidang tanah kemudian ada sertifikat di atasnya tertulis nama seseorang, tanah itu akan lari ke mana saja menurut orang yang namanya tertera di dalam, itu salah satu temuan saya di lapangan papar Prof. DR Ade Saptomo. Jadi ada versi kepastian hukum menurut negara ada versi kepastian menurut masyarakat adat. Isi dari Tor simposium ini intinya sudah bagus,

“Bagaimana upaya secara sistematik agar Masyarakat Adat memiliki legal standing sebagai subjek hukum. Sebelum pemerintah Republik Indonesia berdiri masyarakat adat itu sudah ada. Ketika masyarakat adat memiliki hubungan satu dengan lainnya itu sudah subyek hukum. Itu mempermudah pemerintah dan masyarakat adat sendiri, tidak perlu berbadan hukum yang penting ada badan strukturnya,” kata Prof DR Ade Saptono dalam sambutannya sekaligus membuka simposium.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Prof DR Tamrin Amal Tamagola

Dalam orasi ilmiahnya Prof DR Thamrin Amal Tamagola mulai dengan membagi dua kategori masyarakat, masyarakat kultural dan masyarakat multi kultural.

Under line historical forces dibagi dalam lima kategori. Lima pemeran utama yang mengendalikan dunia kontemporer yaitu kapital (modal), tehnologi informasi dan komunikasi yang ke empat adalah birokrasi dan yang ke lima idiologi. Semua bukan manusia tapi diproduksi oleh manusia untuk menguasai manusia.

Bagaimana modal menguasai dunia, tak satu jengkalpun tanah di dunia ini yang tidak diterkam modal. Tehnologi juga menguasai kehidupan manusia, informasi dan komunikasi juga menguasai manusia lalu birokrasi. Birokrasi ada dimana-mana, dalam negara, dalam keseharian manusia hingga dalam arisan. Lalu banyak idiologi baik berbasis kapitalis maupun agama.

Berbicara mengenai lembaga-lembaga Prof Tamagola mengatakan lembaga adat adalah lembaga pribumi pertama di bumi Nusantara ini, termasuk agama-agama lokal sudah mengakar dan mengacu kepada alam. Lembaga-lembaga inilah pemilik pertama bumi Nusantara, sebagai kemajemukan sosial budaya.

Kemudian lembaga-lembaga agama. Agama-agama asli Indonesia berciri lokal, agama-agama import yang datang ke Nusantara. Menurut Thamrin lembaga agama dan adat sudah sulit dipisahkan. Keduanya sudah saling berkelindan terikat, tapi justru agama-agama import yang diakui oleh negara. Agama-agama asli justru tidak diakui negara dan tak boleh dicantumkan dalam kolom KTP.

Ke tiga, lembaga negara. Lembaga negara sudah ada sejak VOC memproklamirkan dirinya, kemudian diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda sebagai old state new nation. Indonesia baru ada tahun 1945 new nation.

Ke empat lembaga-lembaga bisnis. Lembaga bisnis mulai masuk ke hindia belanda sejak lahirnya Cultuur Stelsel (tanam paksa) 1870, bisnis-bisnis Hindia Belanda langsung menyerbu Nusantara.

Sementara itu, lembaga ke tiga dan ke empat sudah bersekutu dan sulit dipisahkan. Lembaga bisnis dan negara  berselingkuh tidur seranjang. Bagaimana perampasan hak-hak wilayah adat terjadi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi yang legal berdasarkan undang-undang disahkan oleh DPR. Untung sudah ada koreksi dari Mahkamah Konstitusi, tidak boleh terjadi lagi. Tapi negara dan bisnis mudah berselingkuh main mata.

Kekuatan Civil Society menurut Thamrin Tamagola menjadi semacam penengah diantara pergulatan – pertempuran antara agama dan adat di satu pihak dengan negara dan bisnis di lain pihak.

Dalam isu Glocal yaitu global dengan isu lokal memungkinkan terjadinya konektivitas dari semua titik yang ada secara global, regional, nasional dan lokal.  Dalam satu frame terkoneksi dan terjadi percepatan konektivitas antara individu-individu dalam jaringan global.

Lembaga yang memiliki lima unsur yaitu negara, perusahaan dan media sehingga dalam pergulatan terjadi ketidak seimbangan kekuatan. Reformasi yang bertujuan  mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, tapi yang terjadi kedaulatan itu sekarang jatuh silent take over diambil para pemodal.

Bingkai Hubungan Negara Dengan Masyarakat Adat

Dari Merauke sampai Sabang ada 670 suku diproklamasikan menjadi nation state, menjadi political enteties tahun 1945, bagaimana menyelesaikannya.

Keberagaman yang begitu banyak ingin disatukan. Prof Tamagola mengibaratkan nasional itu adalah meja dan kakinya adalah suku-suku. Tanpa suku-suku nation tidak ada artinya, tanpa meja suku-suku juga tidak punya makna. Multikulturalisme kemudian hidup dan tumbuh di tengah  masyarakat yang beragam secara sosial budaya. Permasalahannya kelompok-kelompok minoritas seperti masyarakat adat menuntut eksistensinya diakui. Di Indonesia ada 9 dominan kultur mendominasi kehidupan kita. Bagi mereka yang autonomous mengatakan kami tak mau diurus, kami mau mengurus diri sendiri.

Tantangan bagi masyarakat adat menyelamatkan bahasa daerah sebab di dalam bahasa semua penderitaan dan kearifan satu kelompok direkam – tersimpan. Dia mengharapkan bahasa lokal bisa menyumbang perbendaharaan kata-kata setempat. Karena bahasa, budaya ada. Bagaimana bahasa lokal yang penduduknya mulai berkurang tetapi  menyumbang pembendaharaan bahasa lokal di wilayahnya masing-masing,” ujar Prof DR Thamrin Tamagola.

Prof DR Yudhi Latif dalam orasinya mengatakan Pancasila harus menjadi pendirian hidup. Nilai-nilai kearifan lokal tidak boleh berhenti hanya di tingkat lokal. Ada 3 tolok ukur supaya lokalitas menjadi bagian dari nilai nasional yaitu dengan  mempertinggi nilai keadaban, kemanusiaan dan persatuan.

Prof Yudhi juga mengingatkan bagaimana pendiri bangsa dalam hal ini Soekarno merumuskan nilai-nilai  kebangsaan Indonesiaan berdasarkan nilai- nilai lokal. Kemudian harus ada lembaga yang bisa mewakili rakyat berdasarkan sejarah masyarakat dan budaya yang ada. Lanjut Yudhi sudah saatnya menimbang ulang dan menyempurnakan konstitusi. Lembaga perwakilan seharusnya bisa mewakili seluruh elemen masyarakat dimana masyarakat adat bisa ikut ambil bagian.

Menurutnya dalam Pancasila itu, ada ruang untuk Adat dengan merujuk pada sila ke tiga. Salah satu cara untuk memperjuangkannya masyarakat adat menurutnya bisa ditempuh dengan mengusung perwakilan adat dalam rangka kedaulatan rakyat. Karena wakil rakyat, tidak harus dari partai politik. ****JLG