Suku Soge dan Suku Goban Protes Surat Bupati Sehubungan Pengosongan Lahan

Lokasi
Lokasi HGU Hak Wilayah Adat Suku Soge dan Suku Goban 

Sikka 11/8/2016 – Masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban yang bernaung dalam Lembaga Pemangku Masyarakat Adat Wairkung dan Lembaga Pemangku Masyarakat Adat Pematuli, yang pada tahun 2000 telah melakukan re-claim (pendudukan) atas lahan eks HGU Patiahu-Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka menyatakan protes terhadap Surat Perintah Pengosongan Nomor: Pem.305/115/2016 oleh Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera. Surat Perintah tersebut berdasarkan pada surat Kanwil BPN NTT Nomor: 533.000/300.114/VII/2016. Alasan Masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban memprotes surat tersebut antara lain karena tanah eks HGU Patiahu-Nangahale adalah bagian dari tanah hak ulayat Suku Soge dan Suku Goban.

Dalam pertemuan 7 delegasi masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban yang didampingi oleh sejumlah LSM pada 5 November 2015 di ruangannya di Jakarta, Dirjen Pengaturan dan Penetapan Hak atas Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jamaludin menyatakan bahwa akan menunda proses pembaharuan kontrak PT. Krisrama dan akan menyurati BPN NTT untuk melakukan penelitian lapangan. Meskipun demikian sampai dengan saat ini BPN NTT belum melakukan penelitian ulang.  https://gaung.aman.or.id/2015/11/06/kementerian-agraria-dan-tata-ruang-akan-tunda-proses-pembaharuan-kontrak-hgu-nangahale/

Oleh karena itu, keputusan memerintahkan pengosongan oleh Pemda Sikka dalam Rapat Koordinasi pada 2 Agustus 2016 di Aula Bappeda Sikka merupakan keputusan sepihak dan bukan merupakan hasil dari upaya penyelesaian bersama.

Selama memegang hak guna usaha PT. Perkebunan Kelapa DIAG diduga telah memanfaatkan sebagian lahan secara diam-diam dan bertentangan dengan peruntukkan sesuai dengan kontrak HGU di antaranya  untuk areal Tambak Garam PT DIAG, Tambang Galian C oleh PT Alam Flores, Tempat Pembibitan Mutiara PT. Laut Langit Biru, dan beberapa pemanfaatan lainnya.

Bidang-bidang tersebut dalam pengajuan pembaharuan kontrak wajib dimasukkan dalam kategori tanah terlantar sesuai dengan Surat Edaran Kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5/SE/VI/2014 tentang Petunjuk Beberapa Ketentuan Teknis Permohonan Penetapan Hak Atas Tanah dan Pelayanan Pertanahan Lainnya nomor 5 point r, s, dan t adalah tanah yang setelah pengukuran ulang oleh Panitia Pemeriksaan Tanah ditemukan adanya bidang tanah yang penggunaan, pemanfaatan, pemilikikan dan penguasaan tanah yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya.

Bidang tanah yang termasuk dalam tanah terlantar tersebut wajib dikeluarkan dari bidang tanah yang dimohon. Oleh karena itu, hasil pengukuran BPN NTT bahwa luas tanah yang dimohonkan hak guna usahanya tersebut dengan luas adalah 868 Ha perlu diragukan menimbang fakta di lapangan bahwa banyak bidang dalam kawasan eks HGU Patiahu-Nangahale tersebut yang tidak manfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Artinya BPN NTT perlu melakukan pengukuran ulang.

Kami mempertanyakan dan meragukan netralitas sikap Pemda Sikka yang mengeluarkan Surat Perintah Pengosongan sementara selama ini dalam dialog-dialog dengan masyarakat adat dan PT.Krisrama, Pemda Sikka menyatakan tidak berwenang mengurus persoalan Tanah Eks HGU Nangahale dan bahwa permasalahan tersebut merupakan wewenang BPN Pusat. Pemda Sikka harusnya mengayomi segenap masyarakat dan karenanya mengambil sikap netral menempuh cara-cara dialogis, bukan sebaliknya dengan jalan kekerasan dan menjadi kaki tangan BPN NTT atau pihak manapun.

Atas dasar itulah Suku Soge dan Suku Goban menyatakan menolak Surat Perintah untuk mengosongkan lahan karena sampai dengan saat ini BPN NTT belum melakukan penelitian lapangan ulang dan bahwa sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan bersama terkait pengaturan tanah eks HGU Patiahu-Nangahale ke depannya. *** Are De Peskim