Pandumaan-Sipituhuta 17/9/2016 – Sejak konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta Vs PT.Toba Pulp Lestari Tbk atas tombak haminjon (hutan kemenyan) tahun 2009 sampai sekarang belum ada titik terang baik dari pemerintah maupun pihak perusahaan. Hal itu membuat masyarakat adat kedua desa sepakat menyusun laporan pengaduan ke lembaga Internasional PBB melalui Forest People Programme (FPP) dengan jalur Konvensi ILO III tentang pekerjaan tradisional menyangkut tanah, ekonomi, sosial dan budaya.
Kunjungan FPP ke Pandumaan-Sipituhuta bukan kali pertama, namun dengan dorongan berbagai lembaga pendamping membuat pengacara FPP kembali berkunjung untuk melihat secara langsung dampak kehadiran perusahaan bubur kertas dimaksud yang telah menghancurkan sistem tatanan kehidupan turun temurun mulai dari nenek moyang hingga generasi ke 13 sekarang.
Kerugian yang diakibatkan TPL sesungguhnya tidak dapat diukur dari materi semata selain merusak mata pencaharian utama juga merusak sistem sosial, budaya dan spiritualitas, sebab haminjon adalah identitas dan juga hidup bagi warga Pandumaan-Sipituhuta tidak bisa dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan.
Kunjungan kali untuk melengkapi data yang masih kurang sekaligus melihat bagaimana mengelola haminjon secara tradisional dan lestari. Pengurus perjuangan haminjon menunjuk Sartono Lumban Gaol untuk memperagakan cara manige atau menyadap kemenyan dengan mengunakan alat-alat seperti polang, agat, guris dan panuktuk dan juga melihat langsung haminjon kwalitas (mata-mata, bukkaan) nomor satu serta nomor dua ( tahir).
Dalam kesempatan itu juga Patrick Anderson (FPP) menjelaskan bahwa ILO adalah lembaga internasional untuk memperjuangankan masyarakat adat di bidang pekerjaan tradisionalnya berkaitan dengan aspek tanah ekonomi dan budaya. “Kami datang untuk melihat langsung dampak kehadiran perusahaan yang akan menghilangkan pekerjaan dan sistem yang terbangun dari nenek moyang dan terjaga sampai saat ini. Maka, persolan ini akan kita bawa ke persidangan PBB dan semoga seperti harapkan kita kasus ini menang, dengan itu kita dapat mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan persolan Pandumaan-Sipituhuta dan juga daerah daerah lain di seluruh Nusantara, “ jelas Patrick.
Pendeta Haposan Sinambela menekankan sesungguhnya tombak haminjon adalah bagain hidup warga adat. “Selain tempat tumbuhnya haminjon, juga sumber mata air yang kami anggap tempat sakral, tempat tumbuhnya tanaman obat yang kami gunakan sehari-hari. Namun dengan kehadiran perusahaan membuat kami kehilangan tanaman obat dan juga mengurangi sumber mata air karena hutan di teban dan diratakan dan juga mengganti eucalyptus sekaligus mengangkut limbah ke tombak haminjon yang orang perusahaan bilang itu pupuk serta menggunakan semprotan pestisida sehingga membuat tumbuhan – tumbuhan dan juga aliran sungai punah dan tercemar,” papar Haposan Sinambela.
Hal itu juga dibenarkan oleh Arnold Lumban Batu kehadiran TPL juga memusnahkan mata pencaharian pengrajin rotan karena rotan yang ada di tombak sangat langka padahal rotan sangat diperlukan untuk pembuatan bakul sebagai alat untuk menyadap haminjon dan juga tali bagi pisau dan juga keperluan yang lain,” Lumban Batu.
Pada kesempatan ini Fergus Mackay (FPP) mengingatkan bahwa proses pengaduan ini membutuhkan waktu lama berkisar tiga tahun sebab ada banyak hal-hal yang perlu untuk menyempurnakan pengaduan ini.
“Saya berharap kepada kita semua masyarakat, lembaga pendamping untuk saling bekerjasama membantu memperlancar prosesnya. Mengenai kekerasaan yang dialami oleh masyarakat dan juga surat-surat dari pemerintah terkait hal ini akan kita masukkan dalam lampiran. Ini bukan jalan satu-satunya dalam perjuangan namun salah satu jalan untuk itu jika nantinya pengaduan ini diterima semoga pemerintah segera menyelesaikan konflik ini. Jadi marilah kita sama-sama berdoa supaya segala sesuatunya nanti tidak kekurangan apapun,” jelas Ferguson.
Sudah banyak yang dilakukan oleh masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dalam memperjuangankan wilayah adatnya khususnya tombak haminjon. Namun menanggapi kedatangan FPP untuk melaporkannya ke PBB memang belum sepenuhnya dapat respon positif masyarakat karena masih ragu. Semoga kedatangan FPP dapat menjawab perjuangan tujuh tahun itu dan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta bisa berdaulat, mandiri dan jadi raja di tanah sendiri. ***LLG