Membakar Lahan Dibolehkan Asal Memperhatikan Kearifan Lokal

Menjamin Kesediaan Pangan Masyarakat Adat

img_4507
Florensius Rengga dan Verdianus Muling (Dayak Iban) Kalbar Menerangkan Pola Tradisi Berladang Di Sungai Utik

Jakarta 28/ 9/ 2016 – Masyarakat adat telah melakukan praktek berladang sejak lama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara subsisten (swasembada). Pola berladang tradisional yang sangat unik diterapkan oleh masyarakat adat, karena berfungsi menjaga praktek gotong royong, pengetahuan lokal dan ritual adat yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Tapi kekayaan budaya ini sedang terancam karena masyarakat adat menghadapi kriminalisasi berupa ancaman bagi mereka yang melakukan kegiatan berladang dengan cara membakar.

Padahal, mekanisme pembakaran lahan oleh masyarakat ini dilindungi oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Aparat menangkap masyarakat dengan dalih mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan penindakan tegas terhadap pembakar hutan dan lahan baik secara administrasi, pidana maupun perdata. Instruksi ini didasari oleh isu kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi pertengahan tahun 2016 dianggap sebagai salah satu penyebab kebakaran.

Mina Susana Setra, Deputi 1 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Media Briefing “Pola Berladang Masyarakat Adat” yang diselenggarakan atas kerjasama AMAN dan Yayasan Prespektif Baru di Locanda  Italian Restoran, Jakarta kemarin mengatakan, “sejak satu bulan lalu banyak intimidasi di lapangan. Yang menjadi persoalan adalah perintah Presiden Joko Widodo kepada bawahannya tidak boleh lagi ada kebakaran, jika terjadi dia akan dipecat. Hal itu membuat takut para pejabat dibawahnya, mereka kemudian mengirim tentara dan polisi ke kampung-kampung untuk mengintimidasi masyarakat yang akan berladang,” papar Mina

Masyarakat adat membuka ladang dengan cara membakar,  hal ini dikarenakan selain biaya yang minim, pola membuka lahan dengan cara membakar dapat meningkatkan unsur hara tanah yang dapat berfungsi menyuburkan tanah. Pembakaran yang dilakukan tidak sembarangan, karena semuanya dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat dengan pengawasan secara ketat oleh ketua adat. Lahan yang dibakar adalah lahan berladang milik masyarakat adat. “Di Sungai Utik misalnya, ada satu wilayah yang digunakan untuk berladang, hanya itu yang mereka gunakan untuk berladang dengan cara membakar dan api tidak pernah menyebar kemana-mana,” tambah Mina.

Dalam diskusi “Pola Berladang Masyarakat Adat”  kemarin juga hadir Tommy Indriadi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) serta Florensius Rengga dan Verdianus Muling, perwakilan masyarakat adat Dayak Iban, Kalimantan Barat sebagai narasumber.

Dari segi hukum, Tommy Indriadi mengatakan bahwa pembakaarn ladang ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pada pasal 69 ayat 2 dijelaskan bahwa membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.

“Penangkapan aparat terhadap masyarakat adat yang membuka lahan harus dihentikan. Apa yang mereka lakukan sudah dijamin oleh Peraturan Menteri dan dikuatkan dengan Undang-Undang. Pemahaman aparat perlu ditingkatkan mengenai hak ini. Bila upaya kriminalisasi terus dilakukan, maka sesungguhnya aparat telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang,” jelasnya.

Tradisi, Kearifan Lokal Dan Pangan   

Metode berladang masyarakat adat harus dilindungi dan dilestarikan. Selain sudah terbukti selama bertahun-tahun tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, pola bertanam ini menjamin kesedian pangan bagi masyarakat adat. Bila hal ini dilarang, maka ancaman kelaparan akan melanda masyarakat adat.

“Selain potensi ancaman kelaparan, larangan berladang juga akan menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dengan berladang, masyarakat menjaga kelestarian bibit lokal. Tidak hanya bibit padi yang diwariskan secara turun-temurun, tapi juga bibit tanaman selayang hanya ada di daerah mereka,” imbuh Florensius.

Pola berladang ini merupakan tradisi turun-temurun. Acaman terhadap kegiatan ini tentunya akan menghilangkan kekayaan tradisi yang ada. Kita bangsa Indonesia harus melindungi kesejahteraan saudara-saudara kita masyarakat adat yang berusaha melindungi kearifan lokal yang positif tersebut sekaligus memenuhi kebutuhan hidup mereka.*** Titi Pangestu