Masyarakat adat Kampung Kladum, Distrik Mega, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat mengolah hasil hutan dengan pola kearifan lokalnya sejak nenek moyang. Pengetahuan itu kemudian dikembangkan menjadi bercocok tanam dan berkebun. Pengetahuan mengenai ini masih digunakan sampai sekarang dan tidak pernah berubah.
Pola berkebun dilakukan dengan baik sehingga hutan selalu lestari tidak membuat dampak buruk bagi penduduk lainnya.
Langkah-langkah awal berkebun dimulai dengan menebang lokasi hutan adat setelah diukur lebih dulu. Setelah penebangan, dilakukan pembersihan lahan, kemudian sisa-sisa penebangan dibakar dan dijaga agar api tidak merambat. Baru kemudian dilakukan penanaman untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang demi memenuhi kebutuhan hidup. Pada dasarnya Suku Moi mampu mengelola hutan adat
dengan cara berkebun.
Menurut Ibu Elisabet Siwele, “pengelolaan wilayah adat dan hutan adat harus dengan cara yang diajarkan oleh nenek moyang biar ekosistem alam dan hutan adat tetap terjaga demi masa depan anak cucu kita,” ujar Elisabet Siwele.
Pengelolahan hutan adat dengan cara-cara tradisional tidak merusak kesuburan hutan, tanah dan habitat disekitar hutan adat. Alat-alat yang digunakan juga sangat sederhana, seperti singgel (parang) dan labosa (kampak). Kedua alat ini sangat bagus karena hutan kita dan wilayah adat tetap terjaga dan lestari.
Berladang merupakan kegiatan sehari-hari Suku Moi dengan kata lain menjadi pekerjaan pokok komunitas adat. Menariknya bukan hanya orang dewasa saja melakukan pekerjaan itu, anak anak mereka setelah pulang dari sekolah menyusul orang tuanya ke kebun untuk berkerja dan orang tua melatih mereka sehingga ketika anak-anak sudah besar bisa berkebun tradisi berkebun tidak punah atau hilang.
Kehidupan modern sangat mempengaruhi perkembangan anak-anak di komunitas adat sebab perkembangan dan pengaruh yang datang dari luar membuat generasi muda lupa dengan budaya dan tradisi berkebun *** Ferddy Siwele