Persengketaan antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah dan perusahaan masih terus berlangsung. Awal tahun – Januari 2016 saja di Seko Sulsel, terjadi ketegangan antara masyarakat adat dengan PT Seko Power Prima. Sudah dua kali polisi melakukan penangkapan, terakhir terjadi pada tanggal 19 Oktober 2016, sebelas orang ditahan. Ada banyak kasus yang sama terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat atau RUU PPHMA yang diharapkan dapat memayungi kekuatan hukum hak masyarakat adat dalam membangun kerjasama dengan pemerintah belum pasti masuk dalam daftar Prolegnas 2017. Meski demikian draf rancangan undang-undang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat adat ini terus digodok dalam diskusi-diskusi ilmiah.
Walaupun sudah banyak undang-undang yang mengatur tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, terutama undang-undang di bidang sumber daya alam. Namun alih-alih mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, kebanyakan undang-undang tersebut malah ‘merampas’ hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupan serta membatasi hak mereka.
Undang-undang yang ada saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat oleh karena itu, masyarakat adat memerlukan sebuah undang-undang khusus yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Undang-undang khusus ini harus menata ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara di masa depan dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan pro lingkungan hidup. Undang-undang khusus ini juga harus bisa mengatasi persoalan sektoralisme yang selama ini terjadi di berbagai instansi pemerintah yang berurusan dengan masyarakat adat.
Dengan cara pandang demikian maka undang-undang yang akan mengakui dan melindungi masyarakat adat dan haknya menjadi undang-undang yang akan memposisikan masyarakat adat sebagai Warga Negara Indonesia seutuhnya. Hal ini penting karena situasi yang dihadapi masyarakat adat selama ini dimana pengakuan dan perlindungan itu tidak ada
Pengakuan hukum dilakukan dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat mengidentifikasi diri sendiri (self-identification), namun juga mesti dikonfirmasi dengan komunitas yang ada sekitar masyarakat adat tersebut. Tahapan yang bisa dijadikan alternatif model dalam proses pengakuan hak masyarakat adat adalah sebagai berikut:
- Identifikasi dilakukan oleh masyarakat adat (self-identification). Identifikasi tersebut dibantu oleh organisasi non-pemerintah, lembaga penelitian dan pemerhati sosial budaya.
- Verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Masyarakat Adat (Komisi Daerah Masyarakat Adat jika masyarakat adat berada di dalam satu wilayah kabupaten, dan di tingkat Provinsi jika masyarakat adat berada di dua kabupaten atau lebih; Komisi Nasional jika masyarakat adat berada di dua provinsi atau lebih). Hasil verifikasi oleh Komda masyarakat adat disampaikan kepada pemerintah daerah Kabupaten atau Provinsi untuk dibuatkan Surat Keputusan Bupati tentang penetapan masyarakat adat. Jika masyarakat adat berada di dua kabupaten atau lebih dalam satu provinsi maka hasil verifikasi tersebut diserahkan oleh Komisi Daerah masyarakat adat kepada Gubernur untuk dikukuhkan sebagai masyarakat adat. Jika masyarakat adat berada di dua provinsi atau lebih maka Komisi Nasional masyarakat adat menyerahkan hasil verifikasi kepada Presiden untuk dikukuhkan.
Alur seperti ini sudah jelas dalam RUU versi AMAN. Namun dalam RUU yang telah resmi menjadi inisiatif DPR, alur seperti di atas tidak lagi tampak. Dalam draf RUU inisiatif DPR, posisi Komisi Masyarakat Adat, baik Komisi Daerah maupun Komisi Nasional diganti oleh Panitia Masyarakat Adat yang bersifat sementara dan hanya memiliki satu kewenangan yaitu kewenangan untuk menjalankan verifikasi keberadaan masyarakat adat.
Selain empat konsep tanggungjawab pemerintah di atas, pemerintah juga bertanggungjawab untuk memajukan hak masyarakat adat melalui program-program pemerintahan baik untuk mengupayakan adanya pengakuan hukum maupun agar pengakuan hukum yang sudah ada bisa diimplementasikan untuk memajukan hak masyarakat adat.
Prinsip-prinsip Penting Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Ada beberapa prinsip penting dalam pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat yang patut dimasukan ke dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, antara lain:
Prinsip partisipasi
Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat adat dalam setiap proses pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka. Partisipasi yang ideal adalah ‘partisipasi penuh dan efektif’ dalam pembangunan di mana setiap orang di dalam masyarakat terlibat dalam semua tahapan dan menjadi pihak yang menentukan dalam pengambilan keputusan atas segala program atau proyek yang dilakukan di wilayah kehidupan mereka.
- Melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan program instansi negara lainnya dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat
- Memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan instansi negara maupun perusahaan dengan prinsip-prinsip FPIC.
Tanggung Jawab Pemerintah
Di lihat dari perspektif HAM dan juga dari konstitusi Indonesia, tanggung jawab negara cq pemerintah adalah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dan masyarakat adat. Konsepsi bahwa negara mengakui berarti ada pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara.
Konsep “menghormati” berarti mengharuskan negara untuk tidak melanggar hak-hak masyarakat adat, termasuk dengan cara memberlakukan hukum-hukum yang menjamin hak-hak masyarakat adat. Konsep “melindungi” mengharuskan pemerintah mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat adat yang dilakukan oleh pihak-pihak bukan negara dengan menegakan hukum-hukum yang berlaku. Sedangkan konsep “memenuhi” mengharuskan pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan dan peraturan serta merencanakan dan melaksanakan kebijakan untuk dinikmatinya hak-hak masyarakat adat.
Selain empat konsep tanggungjawab pemerintah di atas, pemerintah juga bertanggungjawab untuk memajukan hak masyarakat adat melalui program-program pemerintahan baik untuk mengupayakan adanya pengakuan hukum maupun agar pengakuan hukum yang sudah ada bisa diimplementasikan untuk memajukan hak masyarakat adat.
Lembaga yang Harusnya Melakukan Upaya Pengakuan
Saat ini banyak lembaga pemerintahan yang berurusan dengan masyarakat adat, misalkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan Nasional. Namun belum ada satu lembaga khusus yang fokus dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Lembaga khusus sebenarnya diperlukan untuk mengatasi sektoralisme dalam memandang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Ketiadaan satu lembaga khusus ini membuat pengakuan terhadap hak masyarakat adat secara utuh sulit untuk dilakukan.
Tugas-tugas pokok dari lembaga yang bertangungjawab terhadap pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat antara lain:
Memastikan tersedianya prosedur pengakuan dan perlindungan yang mengutamakan pemajuan hak-hak masyarakat adat
Melaksanakan program-program yang bertujuan untuk mendorong pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, sebab saat ini yang terjadi adalah masyarakat adat tidak dipandang sebagai warga Negara
Penyelesaian Sengketa
Sengketa dan juga konflik terkait dengan hak masyarakat adat merupakan persoalan yang banyak dialami oleh masyarakat adat. Sengketa atau konflik tersebut dapat terjadi di dalam komunitas masyarakat adat, antar komunitas masyarakat adat, antara masyarakat adat dengan perusahaan maupun antara masyarakat adat dengan instansi pemerintah. Masyarakat punya mekanisme sendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya berdasarkan hukum adat. Sedangkan negara dengan hukum negara sering memaksakan berlakunya hukum negara untuk menyelesaikan konflik. Secara umum, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumber daya alam memberikan pilihan penyelesaian sengketa baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melaksanakan Inkuiri Nasional di 7 lokasi, yaitu Medan, Pontianak, Rangkasbitung, Mataram, Palu, Ambon dan Abepura. Inkuiri Nasional ini mendengar dan mencatat dengar keterangan umum (DKU) yang disampaikan oleh 40 masyarakat hukum adat (MHA), terkait isu MHA di kawasan hutan
Sekitar 20 persen dari seluruh pengaduan yang diterima adalah soal sengketa pertanahan. Berkas aduannya 1.213 kategori agraria, 2014 meningkat menjadi 2.483 pengaduan, konflik-konflik yang melibatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan negara selama ini cenderung tidak bisa diselesaikan. **** Muhammad Arman – Tim Infokom AMAN