Perempuan Adat Berperan Ganda

Kisah Kriminalisasi Rusli Marbun Perempuan Adat Matio

Ibu Rusli Marbun
Ibu Rusli Marbun

Dalam temuan Inkuri Nasional perempuan adat menjadi korban paling rentan dan memprihatinkan. Dampaknya sangat dahsyat perempuan bukan hanya kehilangan akses terhadap wilayahnya tetapi juga karena perempuan adat mengemban peran ganda.

Hal ini juga dialami oleh seorang ibu bernama Rusliana Marbun atau disapa bu Rusli, perempuan adat korban kriminalisasi karena mempertahankan tanah adatnya. Ibu lima orang ini adalah istri Parlindungan Siagian, keturunan pendiri  Huta Matio, Puntumpanan, berada di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Toba Samosir.

Wilayah tanah adat masyarakat Matio dimasuki Toba Pulp Lestari (TPL) untuk mengambil kayu dan menanami eucaliptus (bahan baku bubur kertas). Kecamatan Habinsaran yang memiliki arti matahari terbit, salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir. Konon nama habinsaran diberikan oleh Sisingamangaraja, sebagai penamaan terhadap wilayah tanah Batak yang paling timur jika dilihat dari Bakkara, pusat kerajaan Sisingamangaraja.

Penuturan Ibu Rusliana Marbun

“Sebelum TPL datang ke kampung ini kami tidak kekurangan, tanah kami begitu luas ada lahan untuk kemenyan, berladang, beternak kerbau, dan mengambil kayu bakar. Huta Matio selama puluhan tahun terkenal sebagai penghasil ratusan kerbau terbaik di Toba, bahkan sampai ke kota Siantar. Setiap keluarga memiliki belasan kerbau dewasa dan beranak. Mata air marjullak-jullak (melimpah) dari lereng gunung. Kami tidak kekurangan tanah. Malah bapak kami menyerahkan tanah secara gratis untuk mendirikan sekolah SD yang di depan rumah ini,” kata ibu Rusli.

Tapi sekarang lahan pertanian kami sangat terbatas. Seluruh tanah datar sekeliling kampung ini telah diambil TPL. Sumber air yang dulu melimpah kini kering satu persatu. Kami tidak memiliki kerbau lagi, karena semua tanah yang diambil TPL itu tidak bisa dimasuki kerbau,” terang ibu Rusli

Pada bulan Juli/ 2012, excavator TPL membersihkan lahan Matio dan melakukan pengerukan tanah di lahan rakyat seperti perkebunan kopi dan persawahan milik warga.

“Karena ada informasi dari warga, bahwa TPL melakukan pengrusakan terhadap kebun kopi kami, sebanyak150 batang kopi dibabat rata dengan tanah, saya pergi ke kebun  melihat betul alat berat telah merusaknya, menimbun persawahan luasnya sekitar dua rante.

“Hari ke dua, ketika saya dating lagi ke lokasi itu excavator sedang bekerja di ladang kami, secara spontan saya berteriak supaya menghentikannya, namun tidak diindahkan mereka. Saya pun mendekat ke arah pekerja yang berdiri dekat excavator. Dorong dorongan terjadi dilapangan, secara spontan saya mengambil sebuah ranting pohon dan mengibaskannya kepada pekerja TPL itu supaya menghentikan upayanya merusak lahan kami. Ranting itu adalah ranting bunga-bunga, tanaman kecil hama,  daunnya biasa dipakai untuk obat luka, ukurannya sebesar jari kelingking. Pekerja TPL marga Sibuea tersebut saat itu pakai topi, sehingga ranting yang saya kibaskan hanya mengenai topinya”

“Ceritanya menjadi panjang, Sibuea melaporkan saya ke Polsek Parsoburan. Selanjutnya saya dapat panggilan polisi, katanya Sibuea terluka. Salah seorang anak saya sebenarnya melihat Sibuea ketika mau memasuki mobilnya, dia menggoreskan kunci mobil ke lehernya sehingga seperti ada goresan luka. Katanya dia pergi ke kota untuk memeriksa, padahal tidak ada apa-apa, karena besoknya dia bisa bekerja  seperti biasa. Itulah awal mimpi buruk saya. Saya kemudian dipanggil oleh polsek untuk diperiksa terkait laporan itu”

“Saya tidak tahu apa salah saya tetapi saya dipanggil lebih dari 10 kali oleh penyidik bernama P Siagian. Kepala desa kami saat itu, M Siagian, disuruh polisi untuk bertemu saya. Saya diminta untuk menyerahkan delapan juta kepada polisi supaya kasusnya ditutup. Saya bilang, saya tidak punya uang sebanyak itu, tidak mungkin saya bayar. Saya hanya punya tiung (terong belanda), padi, jagung dan kalaupun dikumpulkan juga tidak cukup. Dengan berurai air mata saya menyembah polisi marga Siagian itu. Saya menolak membayar, sehingga perdamaian tidak jadi”

Karena saya tidak mampu membayar polisi, saya dibawa ke kantor jaksa di Balige. Di sana saya diperiksa selama satu hari. Pada pukul 3 sore, saya dibawa ke Rutan Balige dan langsung ditahan. Saya terpukul dan menangis karena seumur hidup belum pernah berurusan dengan polisi, apalagi menjadi tahanan.

Setelah di ruang tahanan Balige, saya disidang sebanyak empat kali, lalu divonis selama tiga bulan. Hakim menyampaikan kalau saya keberatan silahkan banding ke Medan,  saya jawab tidak mungkin saya ke Medan, saya tidak tahu ke Medan dan saya tidak punya uang ke Medan. Anehnya jaksa itu yang banding, katanya saya harus ke Medan karena jaksa tidak puas pada putusan dan naik banding.

Anak-anak saya diperantauan sudah menangis dan mengatakan akan pulang kampung karena saya masuk penjara. Mereka tidak tega melihat saya dipenjara.

Hampir tiap hari saya menangis di ruang tahanan. Saya tidak tahu kenapa saya harus ditahan hanya karena saya mempertahankan sawah dan kopi saya. Tidak bisa saya bayangkan, dan tidak pernah membayangkan saya masuk penjara. Saya bukan penjahat, saya tidak pernah ambil hak orang lain, tetapi saya harus masuk penjara. Air mataku tidak pernah berhenti selama berhari hari di ruang tahanan. Saya tidak pernah berbuat jahat dan mengganggu orang lain, tapi saya diperlakukan seperti maling.

Ketika menjumpai jaksa dan hakim, saya dimintai uang. Seingat saya, setelah mengumpulkan uang dari keluarga, saya menyerahkan tiga juta rupiah. Saya  memberikan uang kepada panitera, keluarga juga menyerahkan tiga juta kepada hakim marga Bgr. Saya tidak tahu bagaimana uang itu terkumpul karena kami tidak punya uang, saya hanya bisa menangis saat menyerahkan uang itu. Saya menyembah-nyembah hakim supaya dibebaskan, dia bilang jangan bilang-bilang sama jaksa. Hakim Bgr itu kemudian menyuruh saya pulang dan mengambil pakaian di ruang tahanan. Saya pulang tanggal 23 Desember, ketika hari Natal hampir tiba. Saya tidak tahu kenapa saya bisa bebas, yang saya ingat si jaksa katakan saya harus ke Medan untuk naik banding.

Setelah pulang ke desa, saya ke sawah melihat seperti apa kondisi tanah kami itu. Saya kembali menangis karena tanah kami sudah dirusak dan pohon kopi rata dengan tanah, tidak bisa lagi ditanami sebab tanahnya dikikis excavator.

Suatu kali seorang anak perempuan saya yang sudah tamat sekolah pergi menjadi buruh harian lepas seperti teman-temannya di kebun eucaliptus tidak jauh dari rumah kami. Dia kemudian memutuskan tidak mau lagi bekerja karena sering diejek dan dilecehkan oleh pengawas TPL dengan mengatakan, “ada di Matio ini ina ina si alo ama-ama (ada di Matio ini perempuan yang gemar melawan laki laki). Telinga anak saya panas dan dia pulang dari situ menceritakannya dengan berurai air mata kepadaku. “Lungun situtu rohangku” (pedih sekali rasanya mendengar itu). Saya bersumpah bahwa saya dan anak anak saya tidak akan bekerja di TPL, semiskin apapun kami di desa ini.

Karena pengalaman saya diperlakukan TPL sangat pahit, saya tidak akan mengampuni mereka sampai kapanpun. Saya tekankan pada anak-anak saya, jangan sampai mereka bekerja di TPL. “Walau semua tanah di desa kami diambil oleh TPL, dan tak ada  lapangan kerja selain di sana, bagiku kerja di TPL tetap tidak,” kata Bu Rusli.**** Saurlin Siagian – Peneliti di HARI Institute