Jakarta, www.gaung.aman.or.id – Rabu siang (10/7/2019) bersama Nedu dan Peli, dua kepala keluarga Masyarakat Adat Topoda’a, saya berkunjung ke pegunungan Kondo, Kabupaten Sigi, Sulteng. Kondo kerap juga mereka sebut dengan Bulu Kondo atau dalam sebutan lain Bungguna Ri Kondo. Bunggu artinya di satu puncak yang tinggi di pegunungan. Orang-orang Da’a di Sulawesi Barat berbatasan dengan Sulteng kerap kali diidentifikasi sebagai to bunggu yang berarti orang yang ada atau bermukim di pegunungan.
Perjalanan menuju Kondo sangat menegangkan karena menyeberang sungai Miu yang berarus deras dan ketinggiannya mencapai dada orang dewasa. Kemudian lanjut melewati puncak dengan kemiringan yang terjal.
Sampai di puncak pertama, kami beristirahat sekitar 15 menit. Setelah itu melanjutkan perjalanan sampai di salah satu kebun coklat warga. Di sana terlihat sebuah batu berlobang. Orang Topoda’a menamakannya Vatu Nonju. Vatu Nonju sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Kaili. Vatu berarti batu dan Nonju adalah tempat untuk mengolah padi menjadi beras. Jadi Vatu Nonju ini merupakan lesung untuk menumbuk padi. Berbeda dengan lesung yang selama ini saya kenal yakni terbuat dari kayu, Vatu Nonju terbuat dari batu.
Orang Topoda’a tidak mengetahui pasti sejak kapan batu itu karena tempat tersebut bukanlah wilayah asal-usul mereka. Hanya saja di tempat yang ada Vatu Nonju tersebut adalah Bungguna Ri Vatu Nonju.
Setelah melewati Bungguna Ri Vatu Nonju, kami bertemu Arifin, seorang petani Bugis yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selama 1 jam kami beristirahat di bawah kolong gubuk lelaki tua itu. Saya mengamati bahwa di seputaran pegunungan Kondo seringkali terjadi interaksi antara Masyarakat Adat Da’a dan Masyarakat Adat lain di luar komunitas mereka.
Menurut saya inilah salah satu yang membuat orang-orang Da’a memahami dan bisa berinteraksi dengan bahasa Indonesia, walaupun dalam penyebutannya masih banyak yang kurang laiknya dalam bahasa Indonesia pasaran. Misalnya kata ke mana (komana), terimah kasih (terima kasih) dan masih banyak yang lainnya. Setidaknya hubungan di luar komunitas berjalan dengan baik. Interaksi tersebut tak hanya berdampak pada soal bahasa. Mereka juga seringkali saling membantu dalam hal bertani.
Arifin, meskipun dia orang Bone, sudah bisa berbahasa Da’a. Ia, misalnya berbincang-bincang dengan Nedu dan Anci, juga orang Bugis serupa Arifin, dengan berbahasa Da’a.
“Papa Ama ei dianggaku tuaiku, apa nasaemo kami nosinjani” (Papa Ama ini sudah saya anggap adik, karena sudah lama kami saling kenal).
Papa Ama adalah sapaan akrab dari Anci karena anaknya yang bernama Ama. Anci juga merespon apa yang disampaikan Nedu.
“Ane kita ei mana ria ntanina, kita nosampesuvu pura,” kata anci sambil tersenyum. (Kalau kita ini bukan orang lain. Kita bersaudara semua.)
Aku mantunu jole, komi motesa, ucap Peli. (Saya yang bakar jagung, kalian yang bercerita.)
Kami bercerita sambil menyantap jagung.
Waktu menunjukkan pukul 18.07 wita. Kami melanjutkan perjalanan guna mencapai tujuan akhir. Hari mulai gelap. Kami pun tiba di sebuah pakumpa (gubuk). Kami menemui seorang lelaki tua, juga orang Da’a, hanya saja dia bermukim di Dusun Padena, Kecamatan Dolo Selatan. Ia adalah paman Nedu dan Peli. Dia dipanggil Uma Dedi, maksudnya Pak Dedi. Sedangkan nama asli lelaki paruh baya itu adalah Mangge Nota.
Ketika kami tiba, Mangge Nota baru saja selesai memberi makan babi peliharaannya. Sesekali ia terdengar batuk. Hari yang sudah gelap membuat kami tidak dapat melihatnya dengan jelas. Sinar lampu teplok juga tak cukup terang memperlihatkan sosoknya yang sudah tua.
“Mangge Mangge, Mangge (Paman, Paman, Paman),” teriak Nedu.
Mangge Nota menemui kami dan berkata, Pempone ri Pakumpa (naik ke gubuk).
Kami menuruti ajakannya, naik ke gubuknya. Di dalam gubuk dengan penerangan seadanya tampak wajah lusuhnya sambil merokok. Saya punya sayur dan beras, katanya memberi isyarat agar kami memasak. Sayur adalah daun yang ada di hutan dicampur jagung yang sudah diiris (karoda). Berselang beberapa menit, Peli bergegas menanak nasi di bawah kolong gubuk dan memanaskan sisa sayurnya tadi siang dan dicampur dengan dua bungkus mie instan.
Kami makan malam dengan penuh kesederhaan dan kekeluargaan. Saat itulah saya bertegur sapa dengan Mangge Nota. Usai makan ia menanyakan maksud kedatangan kami. Nedu bilang bahwa maksud kedatangan kami ke gubuknya itu untuk melihat kondisi Kondo pascagempa. Ia menerangkan situasi yang dialaminya dan keadaan di sekelilingnya pasca gempa. Meskipun sudah tua, Mangge Nota masih semangat untuk bercerita. Kami sedia bertanya dan mendengarkan hingga pembicaraan kami memanjang ke mana-mana sampai larut malam sebelum akhirnya kami beristirahat.
Keesokan paginya, kami pamit dari gubuk Mangge Nota. Saya dan Peli pergi ke lahan yang sudah bertebing akibat gempa tahun 2018 silam. Nedu kembali ke gubuknya. Saya mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi.
Kami lanjut ke gubuk Nedu yang berjarak sekitar 3 kilometer. Sepanjang perjalanan terlihat tanah yang longsor bekas gempa. Sampai di gubuk Nedu, ketika itu ia sedang membuat api di kolong untuk menghangatkan badan atau istilahnya noneru dalam bahasa Da’a. Saya dan Peli pun langsung bergabung untuk noneru.
Kami melanjutkan pembicaraan di gubuk itu perihal kondisi terakhir di Kondo. Setelah tadi malam juga mulai membahasnya dengan Mangge Nota, di gubuk Nedu mereka memutuskan bahwa bibit bawang merah menjadi permintaan Nedu dan Peli mewakili Masyarakat Adat Da’a yang sekarang bermukim di Desa Tuva. Kebutuhan mereka selengkapnya saya catat:
- Bibit bawang merah
- Tangki semprot
- Cangkul
- Racun gremason (pembakar)
- Racun basumlang (pembunuh akar)
- Mesin paras
- Cangkul
Selain beberapa poin di atas, mereka juga menanyakan tentang pembeli bawang merah yang nantinya akan di panen. Saya merespon pertanyaan tersebut dan bilang bahwa Masyarakat Adat Da’a bebas mencari pembeli sendiri. Adapun perihal bantuan untuk mencarikan pembeli akan kami bicarakan kembali.
Setelah diskusi berakhir, kami langsung kembali ke Desa Tuva melewati jalan terjal. Sampai di lembah kemudian menyusuri sungai kecil (Salu Kondo); sampai di pematang sawah pinggir sungai Miu dan menyeberang. Saya deg-degan karena arus sungai yang sangat kuat dan ketinggian mencapai dada orang dewasa. Namun kami tetap menyeberang. Kami sempat terbawa arus. Untung saja selamat sampai di tepi sungai. Sampai di pemukiman tanpa menunggu waktu lama, saya langsung kembali ke Palu.
*Arman Seli, Biro Infokom AMAN Wilayah Sulteng