Gelombang Penghancuran Sanro

Dukun atau dalam bahasa Bugis disebut Sanro khususnya bagi Masyarakat Adat Barambang Katute adalah tokoh masyarakat yang paling dihormati karena mereka adalah manusia pilihan yang dianugerahi sang pencipta pengetahuan mengobati, baik secara kasat mata maupun secara gaib. Jenis-jenis kelebihan yang dimiliki Sanro, di antaranya pengobatan untuk menangkal ilmu sihir, menghentikan pendarahan, mengobati patah tulang, menangani proses lahiran dan menghentikan gangguan jin, juga menangani berbagai jenis pengobatan penyakit ringan lainnya seperti sakit kepala, sakit perut dan sakit gigi.

Selain mengobati, Sanro Tungke juga menjadi pusat untuk mencari petunjuk sebelum memulai aktivitas di wilayah adat, salah satunya untuk mengetahui waktu dan hari baik untuk memulai proses menanam karena ia dapat membaca keadaan, musim, dan cuaca. Dalam hal ini, sanro memiliki gelar Panre Tanra.

Dengan ilmu pengetahauan yang dimiliki dan menjadi tempat masyarakat menyampaikan aspirasi yang dipercaya, ia dapat memberikan keputusan-keputusan yang bijak sebagai bagian dari pemimpin tertinggi dalam lembaga adat. Ia memiliki gelar Sanro Tungke’ Ri Katute (Cendekiawan di Katute).

Sudah berabad-abad Sanro memiliki kedudukan dan posisi terpenting dalam Masyarakat Adat Barambang Katute. Perannya sangat berpengaruh dalam berbagai ruang lingkup masyarakat. Karenanya gelar Sanro disandang dalam struktur kelembagaan tertinggi dalam kepemerintahan ade’ (adat). Hal itu terbukti melalui struktur adat yang disebut Sanro Tungke’ Ri Katute.

Namun sejarah kelam mengenai adat khususnya Sanro juga tercatat dalam ingatan para tokoh adat. Bahwa Sanro pernah menghadapi tantangan yang cukup berat dalam wilayah adat. Yaitu masa di mana terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh kaum gurilla (gerilya) pimpinan Kahar Muzakkar.

Kahar Muzakkar dalam pemberontakannya melarang keras adanya pengobatan dengan cara melakukan pembacaan mantra (mabbaca-baca). Juga pelarangan berbagai jenis aktivitas ritual adat. Bagi yang melanggar dan ketahuan akan dikenakan sanksi dan tidak ada pembelaan atau belas kasih, mereka langsung dibunuh karena dimasa itu pengobatan tradisional Sanro dan ritual adat dianggap termasuk perbuatan dosa besar (syirik).

Sejarah kelam ini tercatat dalam peristiwa ‘operasi toba’ (operasi taubat). Kahar Muzakkar punya misi ingin mengubah sistem kepemerintahan menjadi sistem kekhalifahan. Operasi toba dilakukan untuk menumpas segala hal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Misi tersebut banyak menelan korban diberbagai daerah yang ingin ditaklukkan.

Dalam operasi ini, sasaran terbesarnya adalah Masyarakat Adat Barambang Katute, karena Masyarakat Adat Barambang tidak terlepas dari ritual adat dan budaya leluhur.

Operasi toba merupakan lanjutan dari upaya Kahar Muzakkar untuk menaklukkan Masyarakat Adat Barambang Katute setelah sebelumnya melakukan penghancuran situs-situs budaya di wilayah adat Barambang Katute. Pasukannya membakar rumah yang di dalamnya terdapat benda-benda yang dijadikan alat ritual adat.

Sejak saat itu masyarakat mulai takut menjalankan tradisi dan budayanya. Rasa trauma yang timbul perlahan memudarkan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan adat. Kekalahan ini membuat Masyarakat Adat harus meninggalkan identitas dirinya.

Peristiwa kelam dimasa pemberontakan Kahar Muzakkar sudah lama berakhir, namun hingga hari ini masyarakat adat masih mengalami berbagai gelombang penaklukan di Barambang Katute. Tidak hanya di Barambang, nasib serupa juga terjadi di penjuru Nusantara. Di antaranya perampasan wilayah adat dan tidak adanya pengakuan agama leluhur. Bahkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai upaya perlindungan dan pemberian payung hukum bagi Masyarakat Adat belum terealisasi.

Upaya Masyarakat Adat dalam mempertahankan sitem adatnya justru semakin dilemahkan. Hal itu terbukti dengan diterbitkannya UU Permenkes No. 97 Tahun 2014 Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi persalinan harus dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes). Peraturan ini sangat berdampak bagi Sanro ana’ (dukun anak).

Dengan dalih untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu melahirkan, pemerintah mengeluarkan peraturan yang secara tidak langsung menimbulkan tekanan bagi masyarakat adat di daerah yang memiliki kesulitan untuk menjangkau tempat persalinan (fasilitas kesehatan).

Peraturan perundang-undangan ini mengeluarkan denda kepada Sanro ana’, pasien, dan bidan ketika mereka melakukan pelanggaran. Ironis. Ketakutan kembali dialami Masyarakat Adat dan harus memilih patuh kepada peraturan yang telah diterbitkan pemerintah.

Khaeruddin

Pemagang Infokom di PB AMAN