Peluncuran Roadshow Film “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita”

Presiden Jokowi Diminta Segera Bentuk Satgas Masyarakat Adat

Pembicara dan penterjemah
Pembicara dan penterjemah

Jakarta 10/3/2015 – Dalam acara peluncuran & Roadshow Film “If Not Us And Then Who” (Siapa Lagi Kalau Bukan Kita) yang berlangsung di Tertine Cafe FX di bilangan jalan Sudirman Jakarta (10/3/2015) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah untuk segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus masyarakat adat untuk menyusun kerangka kerja proses pengakuan, perlindungan dan pemulihan hak-hak masyarakat adat.
Pembicara dalam acara ini hadir Sekjen AMAN Abdon Nababan, Jaleswari Pramodhawardhani Staf Khusus Sekertaris Kabinet, Candido Mezua Masyarakat Adat Amerika Latin (COONAPIP) serta Paul Redman direktur Handcrafted Films.

Abdon Nababan mengatakan, jika kita berbicara mengenai kondisi masyarakat adat di Indonesia, ini tak lepas dari pengabaian selama 70 tahun sejak kemerdekaan Indonesia, walaupun institusi kita menegaskan bahwa negara harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
“Namun hari ini 75 % wilayah adat sudah diberikan izin-izin oleh negara lewat kementerian,” kata Abdon Nababan. Atas perjuangan masyarakat adat hutan primer maupun hutan sekunder masih tersisa sekitar 40 juta hektar. Inilah pertaruhan terakhir kita sebagai negara hutan tropis bagaimana menyelamatkan 40 juta hektar hutan tersisa yang berada di wilayah adat, itu juga sedang terancam, sebab meskipun hutannya bagus belum tentu di sana kosong izin, bisa jadi di sana sudah ada 2 atau 3 izin tumpang tindih,” lanjut Nababan.
“Sementara sebagian besar izin-izin tersebut ilegal, sebab proses pemberian izin itu sesungguhnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Izin yang diberikan dengan praktek suap menyuap atau izin amplop,” tambah Nababan.

“Orang Tobelo atau Togutil seperti digambarkan dalam film O Hongana Manyawa dan masyarakat adat di seluruh Indonesia posisinya persis seperti itu. Memantau wilayah adatnya supaya tidak dicuri orang lain, tapi ketika ada masalah dan dilaporkan ke aparat pemerintah malah nggak diurus. Yang terakhir, karena penegak hukum kelihatannya mulai terganggu dengan kekuatan masyarakat adat menjaga hutannya, maka mereka dikriminalisasi. Pemimpin mereka bernama Bokum dan Nuhu sekarang ditahan di Rutan Klas II B Ternate, dengan tuduhan membunuh tapi bukan di wilayah adat yang mereka kuasai. Mereka rentan sekali dikriminalisasi,” Nababan menerangkan.

“Agama mereka bukan Islam atau Kristen tapi agama leluhur, maka perkawinannya tidak punya surat nikah otomatis anaknya tidak bisa mendapat akte kelahiran. Karena tidak punya akte kelahiran anaknyapun tidak bisa sekolah. Jadi sebenarnya hak warga negaranya terabaikan. Masyarakat adat mengalami diskriminasi, kriminalisasi, dan tanpa pelayanan negara”

“Nggak usahlah dulu dihormati dan diakui, masyarakat adat seperti Togutil ini diberi KTP dan wilayah adatnya masuk peta republik itu sudah syukur,” ujar Nababan realistis.
“Berbicara mengenai peta wilayah adat walaupun dimandatkan melalui Undang-Undang Pokok Agraria sampai hari ini belum ada administrasi untuk wilayah adat dan tanah-tanah ulayat. Masyarakat adat belum sepenuhnya menjadi warga negara, belum menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” kata Abdon Nababan menegaskan.

“Salah satu janji Presiden Jokowi ketika mengikat janji dengan AMAN, jika beliau jadi presiden akan mengerahkan pemerintah untuk mengawal proses pengesahannya. Waktu itu RUUPPHMA sudah masuk Prolegnas namun kemarin gagal masuk Prioritas 2015. Kalau presiden mau hadir di tengah-tengah masyarakat adat kita minta hadirkan dulu peta masyarakat adat dalam one map policy. Presiden juga harus menyelesaikan konflik-konflik agraria di wilayah adat, disamping mengusulkan Satgas masyarakat adat juga ada Satgas yang mengurus konflik-konflik ini pada presiden,” pungkas Nababan.

Dalam pemaparannya Jaleswari Pramodhawardhani sebagai Staf Khusus Sekertaris Kabinet mengatakan, ketika kita bicara masyarakat adat di sana terkait dengan, perempuan, konflik-konflik agraria, bahkan dengan Papua yang berkaitan dengan lokalitas dan lain sebagainya. Betapa kompleksnya persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat seperti yang disebutkan oleh Sekjen AMAN sebelumnya.
“Yang pertama kami lakukan adalah mendengar berbagai persoalan dari banyak kelompok lebih dulu, dari sana kami baru memetakannya. Sebab di Seskab itu kami tidak punya kepentingan politik, kami hanya berfungsi sebagai fasilitator, memediasi, kemudian apa saja yang bisa kami uraikan dari komunikasi lintas 34 kementerian itu dan bisa kami uraikan, bisa kami fasilitasi. Sehingga hal-hal yang menjadi problem seperti yang disampaikan oleh Abdon Nababan bisa difasilitasi,” papar Jales Pramodhawardhani.

“Melihat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012, sebetulnya kita punya implikasi yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat adat yaitu ketika dinyatakan bahwa ‘hutan adat itu bukan hutan negara’ lagi,” Jales Pramodhawardhani menambahkan.
“Saya melihat bukan hanya kementeriannya saja yang didesak tetapi juga mengubah mind set yang tidak mudah, ini sudah kami diskusikan di dalam. Salah satu agendanya adalah bagaimana pentingnya Satgas khusus pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat untuk segera dibentuk. Sebagai mekanisme transisi untuk membicarakan undang-undangnya dan kelembagaannya,” papar Jales Pramodhawardhani

Menurut Candido Mezua dari (COONAPIP) terkait dengan masyarakat adat di manapun berada ada banyak persamaannya dengan masyarakat di belahan bumi lain, seperti di Amerika Latin khususnya di Panama. Eksistensi dan keberadaan mereka tidak diakui oleh negara meski sudah melakukan dialog-dialog namun tidak ada hasilnya. Rasa percaya terhadap pemerintahan sudah hilang dan itu membuat mereka lebih resisten untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka.

Sementara itu Paul Redman Direktur Handcrafted Film mengatakan sudah dua tahun mengumpulkan projek film kampanye yang akan ditampilkan dalam roadshow tentang masyarakat adat. Mulai dari Indonesia hingga Peru dan melibatkan patner lokal menceritakan kisah orang-orang yang berjuang menjaga hutan. Tim “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita menyelenggarakan rangkaian kegiatan di seluruh dunia menuju COP (Call Of Parties) ke-21 di Paris.***JLG  – *Rangkaian acara “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita ” berlangsung 10 s/d 18 Maret 2015 di Galeri ANTARA*