Terlalu Lama Menanti Penerangan Listrik, Sei Utik Tolak Pemilu

Dalam Rumah Betang Sei Utik
Dalam Rumah Betang Sei Utik

Sei Utik 8/6/2015 – Mendengar nama Sungai Utik yang terlintas dipikiran kita adalah wisata budaya dan keindahan alam serta rumah betang yang masih terjaga keasriannya. Sungai Utik merupakan kawasan bermukim komunitas yang tetap konsisten menjaga alam, budaya dan wilayah adatnya. Sungai Utik sudah banyak dikenal orang baik di Indonesia maupun di luar negeri, tidak terhitung berapa banyak orang yang berkunjung ke sana, baik untuk belajar tentang pengelolaan hutan adat atau sekedar menikmati suasana sekitar rumah betang.

Sungai Utik dihuni oleh komunitas Masyarakat adat Suku Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Perjalanan dari Putussibau yang menjadi ibu kota kabupaten menuju Sungai Utik relatif dekat. Bisa ditempuh lewat jalan darat dengan waktu sekitar 2 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Jalan beraspal akan menghantar kita sampai di pintu gerbang kampung. Jalan itu biasa disebut jalan lintas utara atau jalan internasional karena dari jalan tersebut bisa menuju PLB (Post Lintas Batas) Indonesia-Malaysia di Badau.

Perkampungan dimana masyarakatnya masih tinggal di Rumah Betang (rumah tradisional suku dayak) ini menjadi satu dari sekian banyak destinasi wisata di Kalimantan Barat, khususnya di Kapuas Hulu.
Secara infrastruktur masyarakat Sungai Utik sudah terbilang beruntung karena jalan yang mulus serta faslitas pendidikan sudah tersedia disana (SD dan SMP Negri). Sedangkan jarak dari satu kampung ke kampung lainnya cukup jauh. Tetapi untuk fasilitas penerangan, Sungai Utik tidak seberuntung kampung lainnya.
Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang mengatakan sudah sejak tahun 1996 masyarakat Sungai Utik mengajukan proposal ke pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu untuk penerangan, namun sampai saat ini belum dipenuhi juga.

“Masyarakat di sini sangat membutuhkan listrik dari PLN, terutama untuk kepentingan anak-anak. Saat malam hari aktivitas belajar mereka tidak maksimal karena hanya mengandalkan lampu minyak atau pelita. Ada beberapa bilik saja yang menggunakan listrik pribadi dari mesin genset dan hal itu juga tidak tiap malam menyala, apalagi sejak harga bahan bakar semakin naik,” jelas Remang.

“Akhirnya kami warga Sungai Utik sepakat untuk tidak terlibat dalam kepanitiaan dan persiapan pemungutan suara pemilukada nanti,” tambahnya. Hal ini telah dinyatakan komunitas dengan mengirimkan surat kepada Bupati Kapuas Hulu yang ditandatangani 116 orang warga dan ditembuskan pada sejumlah pihak seperti Wakil Bupati, Ketua DPRD, Ketua KPUD, camat dan kepala desa tertanggal 24 April 2015 lalu.

Isi dari surat tersebut sebagai pernyataan sikap tidak bersedia terlibat dalam susunan kepanitiaan maupun persiapan dalam tahapan Pemilukada yang akan dihelat Desember 2015. Hal ini dilakukan dengan alasan karena selama ini keinginan mereka (aspirasi) tidak pernah direalisasikan, terutama harapan adanya penerangan berupa listrik/PLN.

Keputusan masyarakat Sungai Utik tersebut diperkuat oleh rasa kecewa mereka karena di kampung-kampung tetangga sudah terpasang listrik Negara dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PLN sudah melayani sampai di Kampung Pulan (salah satu dusun dari Desa Batu Lintang) sejak lebih 5 tahun lalu, sementara jarak Pulan – Sei Utik sekitar 3,5 Km. Kampung Mungguk dan Lauk Rugun sudah dilayani dengan PLTS (panel surya) berkapasitas 15.000 watt. Mungguk dan Lauk Rugun merupakan bagian dari 7 kampung di Ketemeggungan Iban Jalai Lintang (termasuk Sungai Utik). Sehingga dari 7 kampung itu hanya Sei Utik yang belum dapat pelayanan penerangan oleh negara.

“Ini wujud keseriusan kami yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Pengusulan PPS sudah lewat dan kami juga belum mengajukan dan ini atas dasar kesepakatan masyarakat bersama,” tambah Remang.

Pada sisi lain, warga Sungai Utik telah berusaha melalui swadaya untuk memperoleh penerangan melalui rencana pembangunan Micro Hydro atau pembangkit listrik tenaga air dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Namun hasilnya tidak sesuai harapan karena debit air yang tersedia tidak memadai.
Mei 2014 tahun lau, di Sungai Utik telah dilakukan pemasangan listrik tenaga surya. Bantuan tersebut diperoleh dari program ENTER Nusantara (Energi Terbarukan) melalui kerjasama Greenpeace dan AMAN. Tetapi itu hanya terpasang pada bagian Ruai atau ruang pertemuan di rumah betang sejalan dengan sasaran utama program tersebut yaitu memberi penerangan di tempat umum seperti halnya ruang pertemuan.

Pada rangkaian akhir pemasangan penerangan listrik tenaga surya, pihak instansi terkait hadir pada acara penutupan. Pihak Dinas Pertambangan dan Minerba pada saat itu menjelaskan bahwa proposal yang disampaikan komunitas masyarakat Sungai Utik terkait pengajuan PLN belum masuk dalan APBD tahunan itu. Masyarakat masih berharap pada tahun 2015 dimasukkan dan pemasangan PLN bisa menjadi prioritas.

Tetapi hingga tahun 2015 saat ini belum juga ada titik terang dari pemerintah daerah setempat. Masyarakat sudah beberapa kali mendatangi Pemda untuk memperoleh penjelasan dan jawabannya masih saja nihil.
Dinas pertambangan dan energi kabupaten pernah survey potensi sumber listrik di Utik (sumber daya air) namun jarak sumber air terlalu jauh sehingga tidak memungkinkan, mereka mengusulkan alternatif PLTS (panel surya) namun sampai saat ini juga tidak ada tindak lanjutnya.

“Kami sangat kecewa, karena tidak ada kontribusi untuk kami yang selama ini menjaga wilayah dan adat kami. Bahkan kami berperan aktif dalam promosi kabupaten Kapuas Hulu. Hal ini terbukti dengan sudah banyak orang datang ke kampung kami berkunjung. Bahkan pejabat pemerintah juga sudah sering datang ke sini,” tambah kepala desa yang berasal dari Dusun Sungai Utik tersebut.

Pernyataan sikap warga Sei Utik itu menyiratkan keinginan kuat soal jaminan adanya pemenuhan aspirasi masyarakat yang bukan hanya sekedar janji. Di era kemerdekaan, masyarakat Sungai Utik juga berhak merdeka mendapatkan penerangan dari negara dan bukan malah “dijajah” oleh kegelapan.

Ketika harapan yang menjadi aspirasi komunitas bagaikan masih jauh panggang dari api karena pemerintah alpa dalam pemenuhannya, terang itu masih dalam penantian ****Cony Margareth