Otonomi Daerah Bagi Masyarakat Adat

Opini oleh Simpun Sampurna

Pada tahun 2001 dalam Amandemen UUD 1945, pemerintah telah memasukan Pasal 18B ayat (2), dimana Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Perlu waktu 13 tahun kemudian baru ada perubahan Undang Undang Otonomi Daerah menjadi Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya hal ini menjadi angin segar buat Masyarakat Hukum Adat.

Sesuai pembukaan UUD 1945 bahwa landasan berdirinya Negara adalah Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perintah, yang dimandatkan dalam pasal demi pasal. Setelah hadirnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah seharusnya menjadi lebih baik lagi, karena memberikan kewenangan untuk Komunitas Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan mengurus pemerintahan adatnya. Pada Pasal 1 angka 12 daerah Otonom yang dimaksud disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai batas-batas wilayah, berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal tersebut memperkuat Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria Pasal 2 angka 4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah

Daerah dengan sistem Swatantra adalah daerah otonomi dalam bidang pertanahan yang diberikan oleh Negara lewat Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 67 dan Pasal penjelasan 67 ayat (1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Pasal 1 angka 31 – Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pasal 1 angka 31 Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,politik, sosial, dan hukum.

Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunann, dalam Pasal 1 angka 6 Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografii tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam Pasal 97 ayat (2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.

Sementara pemerintah pusat belum mendorong pemerintah daerah (implementasi) untuk melaksanakan atau memerintahkan pemerintah daerah segera memberikan kewenangan itu, kepada Kesatuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai UUD 1845 Pasal 18B ayat (2), dan Undang Undang yang terkait dalam Pemerintahan adat atau Pranata Adat sebagai amanat Otonomi Masyarakat Hukum Adat.

Perbedaan Desa dan Kesatuan Masyarakat Hukum dapat dilihat dalam Pasal 1 Angka 12 dan Angka 43 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, pada Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

Dalam penjelasannya ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Ini menujukan bahwa baik dia kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat harus dibedakan dan tidak boleh disatukan.

Persoalan sumber daya alam (SDA) baik benda mati maupun benda hidup dalam wilayah adat selama ini tidak diberi kesempatan atau hak untuk mengurus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi apakah mungkin Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mau melaksanakannya? Sementara selama ini merekalah yang memiliki kekuasaan untuk memberikan izin-izin bahkan kuasa untuk mencabut izin-izin tersebut.

Hal ini terlihat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunanan , dalam Pasal 12
(1). Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebuanan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
(2). Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan//****