Pengesahan Perda Adat Kabupaten Sumbawa No 9 Tahun 2015 Tanpa Proses Uji Publik

FGD Pengajuan Judicial Review Perda No. 9 Thn 2015
Tentang LATS (Lembaga Adat Tanah Samawa) Kab. Sumbawa 

FGD Perda Adat Kab Sumbawa
FGD Perda Adat Kab Sumbawa

Sumbawa 16/10/2015 – Pengurus Daerah AMAN Sumbawa menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas status Perda Lembaga Adat Tanah Samawa (LATS) di ruang rapat Hotel Harapan Jl. ‎Sucipto Sumbawa NTB. Para peserta dalam FGD ini antara lain utusan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) , akademisi, pengamat sejarah Sumbawa, Masyarakat Adat Cek Bocek, Masyarakat Adat Pekasa.

Adapun hasil FGD merekomendasikan beberapa poin antara lain AMAN Daerah Sumbawa bersama PPMAN, masyarakat adat Cek Bocek, Pekasa akan mengajukan Judicial Review terhadap Perda no. 9 Thn 2015 tentang Lembaga Adat Tanah Samawa‎ ke Mahkamah Agung. Akan melakukan Eksekutif Review Perda no. 9 Thn 2015 Lembaga Adat Tanah Samawa, Ke Kementerian Dalam Negeri. Meminta peraturan daerah tersebut dicabut oleh DPRD Kab. Sumbawa. Juga akan menggalang komunikasi antara perwakilan masyarakat adat pemerintah daerah, sultan, tokoh agama dan akademisi. Menyusun naskah gugatan Judicial Review sebelum dikirim ke Mahkamah Agung, Kemendagri, DPRD Kab sumbawa dan pihak-pihak terkait lainnya.

Kepentingan Pemerintah Daerah dan Investor

Point Penting Hasil FGD LATS

FGD LATS menyimpulkan bahwa Perda LATS itu dibuat secara sepihak oleh DPRD, karena isinya membuat rancu tatanan masyarakat adat Sumbawa. Sebab di dalamnya hanya menjelaskan tentang Lembaga Adat Kesultanan Sumbawa, sama sekali tidak menyebut tentang masyarakat adat lainnya.

Secara administratif, perda ini menyalahi batasan wilayah administrasi, sebab perda tersebut disahkan oleh Bupati Sumbawa, tapi isinya juga menyebut pengaturan wilayah di Sumbawa Barat.

Perda itu juga menjadi tidak jelas, karena sifatnya sebagai lembaga kemasyarakatan saja, tetapi menyebut soal kepemilikan harta kekayaan di wilayah adat, tanpa menjelaskan mana wilayah adat yang dimaksud.

Perda tersebut juga tidak memiliki kejelasan kedudukan hukumnya sebagai organisasi, sebab perda itu jelas-jelas mengatur tentang satu lembaga saja, yaitu Lembaga Adat Tanah Samawa, perda itu bukan perda yang mengatur Ormas atau LSM.

FGD menemukan beberapa kekacauan yang diakibatkan lahirnya perda itu, diantaranya; kedudukan sultan secara lembaga menjadi kuat, padahal sebelumnya kesultanan sudah tidak eksis lagi. Lembaga adat yang sudah ada, menjadi hilang hal ini disebabkan pemerintah hanya menyebut LATS lah satu-satunya lembaga adat di Sumbawa.

FGD menyimpulkan bahwa perda tersebut bukanlah perda yang mengatur tentang lembaga adat, tapi mengatur tentang terbentuknya organisasi adat buatan pemerintah. Hal ini terlihat dari susunan pengurusnya yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Sekda, Kepala Dinas, camat dan lain sebagainya tanpa ada unsur dari masyarakat adat.

FGD menduga LATS sengaja dibuat, supaya pemerintah punya alat untuk menguasai wilayah adat yang ada tapi belum dikukuhkan, karena pemerintah menyebutkan, bahwa di Sumbawa tidak ada wilayah adat dan masyarakat adat. Kepentingan pemerintah ini dibaca sebagai cara untuk bisa menjual tanah-tanah adat, demi kepentingan investor seperti PT Newmont.

Pengesahan Perda ini juga tanpa proses uji publik, dan sosialisasi sebelumnya. Secara politis, pengesahan perda ini di DPRD sumbawa, tidak didukung oleh semua partai politik di DPRD, sehingga sebagian partai lain tetap menolak perda ini.

FGD sepakat untuk membentuk tim kajiian hukum, politik dan lobby, sebagai upaya memberikan gambaran yang utuh tentag keberadaan perda ini yang sama sekali tidak sesuai dan menyalahi tata aturan perundangan dan organisasi masyarakat.**** Tommy Indriadi – PPMAN