Siaran Pers – Pernyataan Pemimpin Masyarakat Adat Di COP 21

Para Pemimpin Adat Pewaris Hutan Di Amerika Latin,  Afrika, Asia – Indonesia, Merespons Pengumuman Kepala-Kepala Negara Di COP 21

Sekjen AMAN Bersama Delegasi Afrika, Amerika Latin COP21 Paris
Delegasi AMAN COP21 – Sekjen AMAN Bersama Delegasi Afrika, Amerika Latin

Sebagai pemimpin-pemimpin adat dari wilayah yang mencakup hutan-hutan besar di Afrika, Asia dan Amerika Latin, kami menyambut keputusan kepala-kepala negara dari negara-negara hutan tropis untuk melakukan konservasi hutan dan pembangunan berkelanjutan sebagai landasan rencana mereka untuk mengurangi emisi karbon dan memperlambat deforestasi

Telah semakin jelas bahwa pemerintah-pemerintah akan gagal mencapai tujuan yang telah mereka nyatakan, kecuali mereka mengakui dan mendukung hak-hak Masyarakat Adat atas tanah tradisional, wilayah dan sumber daya mereka.

Bukti yang hari ini dirilis dan diilustrasikan dengan peta kawasan hutan tropis yang rinci, menunjukkan secara meyakinkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga cadangan karbon yang padat dan sangat besar jumlahnya dan karena itu mereka adalah pemain global dalam mitigasiperubahan iklim. Ini tidak cukup hanya dengan “mengakui kontribusi dari Masyarakat Adat,”seperti yang dinya-takan dalam teks negosiasi yang disetujui untuk konferensi perubahan iklim PBB di Paris

Pemerintah harus bertindak berdasarkan pengetahuan itu, atau risikonya adalah kegagalan. Untuk pertama kalinya, sebuah penelitian baru telah mengukur karbon yang tersimpan di wi-layah adat di seluruh bentangan terbesar hutan tropis dunia yang tersisa. Penelitian menggunakan data penginderaan jauh dan analisis oleh Laboratorium Woods Hole dan berdasarkan batas-batas wilayah yang disediakan oleh Masyarakat-masyrakat Adat.

Penelitian baru tersebut menunjukan bahwa hutan adat yang dikelola oleh Masyarakat Adat di Afrika, Asia dan Amerika Latin memuat, setidaknya 20 persen karbon yang tersimpan di hutan tropis dunia dan mencegah lebih dari tiga kali total polusi karbon dunia tahun lalu memasuki atmosfir.

Masyarakat Adat mempraktekkan cara-cara hidup tradisional yang memiliki dampak jauh lebih rendah terhadap hutan tropis ketimbang mengikuti budaya barat. Tetapi kemampuan kami mencegah pembangunan ilegal dan melindungi wilayah kami dari penggunaan hutan yang berdampak tinggi seringkali dibatasi oleh kurangnya dukungan hukum dan keuangan, termasuk kurangnya pengakuan atas tanah kami.

Temuan Woods Hole mengungkapkan bahwa karbon yang terkandung di hutan tropis wilayah adat lembah Sungai Amazon , Mesoamerika, Republik Demokratik Kongo dan Indonesia se-tara dengan 168,3 gigaton karbon dioksida (GtCO2) -lebih dari tiga kali jumlah gas-gas rumah kaca global (52,7 GtCO2) pada tahun 2014.
Ini merupakan 20.1% dari karbon yang tersimpan di atas tanah di seluruh hutan tropis dunia. Perkiraan ini bersifat konservatif karena tidak mempertimbangkan karbon yang tersimpan di wilayah adat di bagian lain Asia tropis dan lembah Sungai Kongo, dan juga tidak termasuk karbon bawah tanah lahan gambut Indonesia.

Oleh karena itu, kami menyerukan kepada para kepala negara di negara-negara berhutan dan sekutu mereka untuk memastikan hak-hak Masyarakat Adat untuk diakui dan ditegakkan sehingga kami dapat memainkan peran kami sebagai solusi yang ada terhadap perubahan iklim.

Untuk melanjutkan pelestarian hutan tropis yang merupakan isu penting untuk mencapai tujuankonferensi ini, serta untuk menjaga integritas ekosistem dan identitas budaya kami, masyarakat-masyarakat kami memerlukan:

• Menyatakan dan menamakan wilayah kami, serta pengakuan hak-hak kami atas sumber daya alam besar yang berada di wilayah-wilayah kami serta pengakuan besarnya layanan jasa lingkungan wilayah-wilayah kami.
• Bantuan dalam hal penganiayaan-penganiayaan terhadap pemimpin-pemimpin kamiyang berbicara dalam membela hak-hak dan wilayah adat.
• Pengakuan kontribusi Masyarakat Adat terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan pencantuman kontribusi tersebut dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC) pemerintahan.
• Penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)dalam kegiatan-kegiatan konservasi hutan di wilayah adat.
• Akses langsung ke pendanaan iklim bagi Masyarakat Adat.
Kami yang berada di garis depan perubahan iklim telah memberikan kontribusi sedikit terhadap krisis global, namun kami berisiko kehilangan besar.

Kami berada di Paris untuk menawarkan bantuan-pada dasarnya dan mungkin cara yang paling mudah dijangkau bagi negosiator iklim yang berjuang mencari solusi. Alam telah melayani umat manusia tetapi alam harus dihormati, dan kami, di atas segalanya, tahu bagaimana melakukan ini. Sifat gambut, misalnya, adalah basah.

Mengeringkannya untuk penanaman kelapa sawit sama saja mengundang bencana. Kami tahu ini, tetapi suara kami tidak diperhatikan. Kebakaran yang melanda Indonesia dan lompatan 16 persen deforestasi di Brazil adalah contoh dari apa yang terjadi ketika pemerintah gagal untuk terlibat dengan MMasyarakat Adat sebagai mitra dalam melindungi hutan yang sangat penting untuk mengatasiperubahan iklim yang sangat cepat.

Dengan hak yang kuat, Masyarakat Adat dapat memainkan peran yang kuat dalam mengurangi emisi yang mengancam kesehatan planet bumi. Masyarakat dunia melihat hutan kami dan melihat karbon, tetapi bagi kami hutan tersebut berarti makanan, air, dan kehidupan itu sendiri

DITANDATANGANI,
Abdon Nababan, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Candido Mézua, a Panamanian Embera leader with the Mesoamerican Alliance for Peoples and Forests (AMPB).
Jorge Furagaro, Coordinating Body for the Indigenous Peoples Organizations of the Amazon Basin (COICA)
Joseph Itwongo, Peoples for the Sustainable Management of Forest Ecosystems in Central Africa (REPALEAC/DRC).
• “Hutan tropis di wilayah adat sangat penting untuk mengurangi perubahan iklim, tetapi penting untuk di catat bahwa kami juga menyediakan jasa lingkungan penting lainnya,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesia . “Kami tidak menempatkan karbon kami untuk dijual. Yang kami inginkan adalah pengakuan untuk pekerjaan yang kita lakukan, dan penguatan hak untuk wilayah kami, yang Mahkamah Konstitusi Indonesia telah mengakui. Kami menyerukan untuk mengakhiri model ekonomi yang sepenuhnya tergantung pada penghancuran hutan dan saluran air kita, merampas generasi mendatang dari harta yang tidak ada harganya.”
• “Agar kita terus melestarikan hutan tropis yang terletak di wilayah tradisional kita, kita perlu memiliki hak kuat untuk hutan tersebut, dan mengakhiri kriminalisasi yang menghadang upaya kami untuk melindungi tanah kami,” kata Jorge Furagaro dari COICA. “Kematian tidak harus menjadi harga yang kita bayar untuk melakukan bagian kita dalam mencegah emisi yang menyulut perubahan iklim.”
• “Kami tidak menentang pembangunan, tapi kami menentang model pembangunan yang menghancurkan kehidupan bagi kita dan anak-anak dan cucu kita-serta Anda,” kata Candido Mézua, Panamanian Embera leader with the Mesoamerican Alliance for Peoples and Forests (AMPB). “Jika para pemimpin nasional kita serius tentang tujuan menyelamatkan hutan, mereka berhenti mengkriminalisasikan kami dan membolehkan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap rakyat kami yang mencoba untuk mempertahankan hutan kita dari kelaparan global yang terus tumbuh untuk kebutuhan kedelai, kelapa sawit, kayu, bahan bakar, air dan mineral. Dunia telah mempersempit pembahasan perubahan iklim ke pertanyaan berapa banyak karbon yang ada di hutan.”
• “Kami menyerukan negosiator global untuk berinvestasi dalam solusi yang sudah ada. Berinvestasi di masyarakat hutan jika anda serius untuk memastikan hutan tetap berdiri, “kata Joseph Itwongo, Peoples for the Sustainable Management of Forest Ecosystems in Central Africa (REPALEAC/DRC)