BOM WAKTU DI WADUK LAMBO

Rencana pembangunan Waduk Lambo telah menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat adat Rendu. Pasalnya lokasi pembangunan waduk seluas 431,91 hektar merupakan lokasi terdapat banyak artefak budaya dan sosial. Selain itu, sekitar 5000 warga di desa Rendu Butowe, Labolewa dan Ulupa terancam akan kehilangan tanah adat.

Sejak tahun 2003, Kementerian Pekerjaan UmFOTO 2um dan Perumahan Rakyat telah menyiapkan desain pembangunan waduk Lambo di kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Enam waduk lainnya antara lain, waduk Kolhua di kota Kupang, Raknamo dan Manikin di kabupaten Kupang, Rotiklot di kabupaten Belu, Waduk Temef di kabupaten Timor Tengah Selatan serta Waduk Napunggete di kabupaten Sikka, Flores. Pembangunan waduk bertujuan untuk mengatasi masalah kelangkaan sumber air bersih bagi masyarakat di kota Kupang.

Dialog antara warga adat Rendu dengan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, pada Desember 2017 diwarnai ketegangan. Warga menolak pernyataan gubernur yang secara sepihak mengijinkan tim survei untuk datang ke lokasi pembangunan waduk.

Salah satu warga Rendu, Siti Nur Aisah menyatakan, Kami ibuibu ini yang melahirkan anak yang akan bertumbuh dan berkembang menjadi banyak. Kalau kami berikan tanah ini untuk dibangun waduk, anak cucu kami yang akan datang mau tinggal dimana? Tak sejengkal pun tanah ini kami berikan untuk pembangunan waduk. 

Hal senada juga disampaikan oleh warga lain Hermina Mawa, “Leluhur tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk menjual tanah membangun waduk sehingga siapa pun yang melanggar sumpah adat dia akan termakan sumpah adat itu.

Gubernur Frans menganggap, suara protes masyarakat adat hanya riak-riak kecil yang justru menambah motivasi pemerintah untuk mempercepat pembangunan waduk tahun 2018. Di tempat terpisah Ketua PW AMAN Nusa Bunga, Philipus Kami menyayangkan sikap gubernur yang bertentangan dengan Menteri PUPR, “Padahal tanggal 4 Agustus lalu, Menteri PUPR di hadapan utusan masyarakat adat Rendu di kantor Kementrian PUPR menyatakan bahwa jangankan seratus orang, satu orang saja yang menolak, maka ia akan membatalkan proses pembangunan waduk.”

Lebih lanjut Philipus juga menjelaskan sikap gubernur bertentangan dengan UUD 45, pasal 18 b ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup  dan keputusan Mahkamah Konstitusi no. 35 tahun 2012, yang menyatakan bahwa hutan adat tidak masuk sebagai hutan negara.

Philipus juga berharap pemerintah bersikap lebih bijaksana dengan mempertimbangkan suara masyarakat adat sebagai pemilik tanah adat. Lokasi alternatif pembangunan waduk telah diusulkan oleh warga Rendu di Lowo Phebu dan Mala Waka. Apabila pemerintah tidak menerima usulan tersebut, maka pembangunan waduk bisa dicarikan di lokasi lain.

Simon Welan, Biro Infokom PW AMAN Nusa bunga, NTT