ORANG PUNAN DULAU MENCARI JALAN PULANG

Pada tahun 2013, masyarakat adat telah memenangkan gugatan terhadap UU No 41 tahun 1999 di Mahkamah Konstitusi (MK 35), yang menyatakan bahwa hutan adat tidak masuk dalam hutan negara. Keputusan tersebut mendapat dukungan pemerintahan Jokowi untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat adat melalui pengakuan hutan adat. Namun saat ini komitmen tersebut sedang diuji oleh masyarakat adat Punan Dulau.

Pada tahun 1972, sekitar 130 jiwa warga Punan Dulau yang mendiami hutan adat seluas 22.139 hektar, di hulu sungai Magong dipaksa pindah oleh pemerintah ke desa. Pemindahan tersebut dilakukan dalih agar warga dekat dengan lokasi pelayanan administrasi pemerintah setempat. Kepala Adat Punan Dulau, Bungei mengatakan, Mereka hanya menunjuk tempat dimana kami harus tinggal, tanpa menyediakan apapun.” Bungei juga menjelaskan dalam proses pemindahan warga, tentara dikerahkan, warga yang menolak pindah mengalami intimidasi, siksaan. Mereka ditelanjangi, lalu direndam dalam sungai dalam waktu yang lama. Siksaan itu membuat warga tak tahan lalu menyerah. Sehingga mereka terpaksa pindah ke wilayah baru di Sekatak Buji seluas 4.800 meter persegi. Padahal wilayah tersebut telah didiami lebih dulu oleh masyarakat adat Tidung.

Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pemerintah terus berlanjut. Tahun 1988, wilayah adat Punan Dulau malah dimasukkan oleh Menteri Kehutanan menjadi wilayah konsesi perusahaan kayu dibawah kendali PT. Intracawood. Perusahaan kayu ini beroperasi dengan mengantongi izin HPH seluas 226.326 hektar, untuk dieksploitasi selama 75 tahun. Namun pada tahun 2003 izin tersebut dianulir Kementerian Kehutanan yang mengeluarkan izin baru untuk 45 tahun melalui SK No.335/menhut-II/2004 dengan luas menjadi 195.110 hektar di wilayah tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur.

Sehingga pada tahun 2004, perusahaan tersebut mulai memasuki wilayah adat Punan Dulau secara diam-diam. Akibatnya, orang Punan Dulau mengalami kesulitan membuka lahan baru untuk berkebun, karena seluruh wilayahnya sudah dikuasai oleh pihak perusahaan.

Situasi ini menghancurkan kehidupan orang Punan Dulau yang memiliki filosofi, “Lunag Telang Otah Ine”, yang artinya hutan merupakan air susu ibu yang memberikan kehidupan bagi mereka. Hutan menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan pakaian, lauk-pauk dan makanan lain. Hidup dengan cara berburu dan berladang secara nomaden merupakan tradisi dan mata pencaharian orang Punan Dulau secara turun menurun.

Orang Punan Dulau terpaksa berladang secara tetap dengan meminjam tanah milik warga Tidung yang sudah tidak subur lagi. Akibatnya, sebagian warga Punan Dulau memilih berladang dan mencari ikan di kampung yang lama dengan jarak 46 kilometer. Sedangkan warga yang menerima keadaan secara pasif, hidup terperangkap di kampung baru tanpa memiliki masa depan.

Sejak tahun 2000, konflik terpendam ini pecah menjadi konflik terbuka. Warga Tidung menuntut ganti rugi lahan yang dijadikan tempat pemukiman warga  Punan Dulau. Sehingga warga Punan Dulau meminta pemerintah untuk menyelesaikan perkara tersebut. Kemudian pemerintah membeli tanah tersebut seluas 1,7 hektar.  Namun kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah yang terjadi.

Hingga kini, nasib warga Punan Dulau dan hutan adatnya masih belum jelas. Tindakan sewenang-wenang pemerintah, bukan hanya telah memiskinkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat adat Punan Dulau, tetapi juga membuat mereka kehilangan jalan untuk kembali pulang.

Teks : Sajogyo Institute & Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)