Orang Rimba, Mengemis di Tanah Sendiri

Oleh : Yayan Hidayat

Kalau tempat berteduh numpang di kebun orang, cuma untuk beli makanan kami terpaksa meminta-minta” keluh Nyambung Daun, salah satu Orang Rimba. Guratan kesedihan tampak di wajahnya. Nyambung Daun kini hanya duduk termenung, dia terpaksa keluar hutan dan berjualan sambil berharap ada yang membeli dagangan mereka.

Betapa tidak, tempat tinggal mereka kini beralih fungsi menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Padahal sebelumnya kaya akan sumber daya alam.

Hutan semakin sempit, orang rimba tak lagi melangun (berpindah-pindah) ke dalam hutan namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat, sebagian dari mereka memilih mengemis demi memenuhi kebutuhan ekonomi.

Dalam beberapa bulan terakhir, orang rimba setidaknya sudah berpindah ke tujuh lokasi baru yang sebagian besar merupakan daerah pinggir desa dan juga perkebunan masyarakat. Ketika melangun pasokan makanan menipis, dan menyebabkan daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga banyak yang sakit.

Dari 150 jiwa di tiga komunitas Orang Rimba, kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari 2014 lalu dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa.

Sebagian ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, namun orang rimba tak mau dirawat. Akhirnya banyak yang meninggal dunia dan kemudian melangun lagi.

Melangun merupakan tabu kematian pada orang rimba, berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah ditinggalkan anggota kelompoknya. Karena kematian yang beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik.

***

Wilayah adat sebagai martabat dan ruang hidup orang rimba, telah menjadi komoditas bagi pasar negara. Bagi orang rimba, hutan adalah manifestasi dari ikatan kosmologis dengan leluhurnya. Mereka bersandar pada hutan.

Namun kini, hutan telah semakin menyempit, diganti hamparan sawit. Mereka terusir dari wilayah peninggalan leluhur yang telah dirawat turun-temurun.

Tiga Dekade Perampasan

Banyak versi mendefenisikan genealogis orang rimba. Antropologi Adi Prasetyo, direktur Indonesia Center For Sustainable Development (ICSD) menganggap bahwa orang rimba adalah bagian dari puak Melayu. Yang menjadi pembeda adalah bahwa sejak awal ruang orang rimba memang sudah dibatasi dan dikerdilkan dalam sejarahnya.

Orang rimba digolongkan sebagai kasta terendah yang disebut orang “kubu”. Mereka dianggap liar dan tidak beragama.  Stereotype penyebutan orang rimba sebagai “budak” dibuat oleh Belanda.

Sejarah domestifikasi, perampasan dan perbudakan dimulai pada 1980-an. Beberapa oknum sudah mulai merambah hutan. Perusahaan pembalak kayu masuk ke Kawasan Bukit Dua Belas dan mengkapling-kapling wilayah adat orang rimba. Ruang hidup mereka habis terbagi-bagi oleh 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Perampasan ruang hidup orang rimba terus berlanjut dengan penetapan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Presiden Gus Dur. Seluas 60.500 hektar wilayah adat orang rimba menjadi milik TNBD. Zonasi yang ditetapkan Kemenhut masa itu mendorong tindakan eksodus terjadi. Orang rimba terbagi ke enam zona; inti, rimba, pemanfaatan, tradisional, religi dan rehabilitasi. Kebijakan zonasi justru semakin memarjinalkan orang rimba, sistem ini ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan orang rimba.

Pembalakan hutan dan pembukaan lahan untuk transmigrasi serta perkebunan sawit selama berpuluh-puluh tahun berujung pada penyempitan ruang hidup baik secara ekonomi, sosial dan budaya.

Presiden Joko Widodo pada Oktober 2015 menghendaki pembangunan kawasan terpadu bagi orang rimba di Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, yang tepat berada di lereng TNBD. Semestinya pembangunan dimulai awal 2016 dengan mendirikan 70 unit rumah bagi orang rimba, tapi gagal. Kegagalan tentu bukan tanpa sebab. Pemerintah tak berpikir bagaimana orang rimba biasa hidup nomaden dan berburu itu bisa mencukupi kebutuhan hidup, saat mereka dipaksa menetap. Pemerintah hanya membangun rumah, namun tak beritikad untuk memulihkan ruang hidup orang rimba yang digerus oleh korporasi sawit.

Ini sama dengan ngandangin orang, kehidupan tak pernah dipikirkan. Merumahkan orang rimba tak bisa hanya dengan membangunkan rumah semata. Orang rimba butuh wilayah sebagai sumber penghidupan mereka.

Hilang hutan, menyeret orang rimba jauh ke luar dan menempati pinggiran jalan lintas. Alih-alih mendapat akses lebih mudah, hidup mereka justru lebih rentan.

Bayangan, selama tiga dekade mereka dimiskinkan oleh negara dan korporasi sawit. Hasil eksploitasi sumber daya mereka menjadi alat untuk melunasi hutang-hutang negara. Apa yang orang rimba dapat? Tak lebih dari keterasingan dan ketertinggalan. Selama itu pula orang rimba dibatasi untuk melaksanakan kegiatan adat-istiadat mereka. Wajar saja, 80 persen aktivitas adat orang rimba dilaksanakan di hutan. Itu kenapa hutan menjadi peran kunci menjaga keberlangsungan adat-istiadai yang telah sejak dulu. Namun negara datang dan menguasai semuanya.

Mengemis di Tanah Sendiri

Tiga dekade kebelakang, pantas kita sebut sebagai dekade perampasan orang rimba. Kaya dengan sumber daya alam peninggalan leluhur, namun tak dapat mereka nikmati. Wilayah mereka digerus dan terganti dengan hamparan sawit. Mereka disingkirkan, banyak yang memilih keluar dari hutan, Mengemis dan berdagang demi memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk bertahan hidup, ada pula yang bekerja sejak matahari terbit hingga larut malam. Dengan peralatan seadanya ditambah makanan yang terbatas dan jauh dari kata layak.

Tak ada niat baik negara memulihkan ruang hidup mereka, justru negara hadir dengan segala programnya yang tak masuk akal. Sejak 1995 – 2016, program perumahan komunitas adat terpencil telah mengadopsi pola transmigrasi, kendati demikian tetap gagal. Hanya sedikit orang rimba yang menetap, rumah ditinggal, sebagian dijual.

Pemerintah mengeluh. “Sulit sekali menghilangkan budaya nomaden, sulit berubah” kata Usup Suryana, Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Dinas Sosial Jambi.

Ungkapan itu adalah manifestasi dari kedangkalan berpikir pemerintah. Negara tak punya hak untuk mengubah pranata adat yang sudah berkembang jauh sebelum negara ini lahir, yang menjadi kewajiban pemerintah adalah mengembalikan ruang hidup orang rimba yang mereka rampas bersama korporasi sawit.

Dari apa yang terjadi, bijak rasanya mengatakan bahwa negara betul-betul tak memiliki itikad baik untuk hadir ditengah orang rimba, kebijakan yang lahir justru bertujuan untuk menyingkirkan orang rimba dari wilayahnya.

Kehadiran negara menjadi tak berguna bagi orang rimba. Menciptakan prahara, tanpa memberi kebermanfaatan. Negara dan korporasi sawit rampas tanah dan hutan, tanpa menghormati martabat adat orang rimba. Dengan gampang orang rimba dimiskinkan, bahkan dipaksa mengemis di tanah sendiri. Bahkan ada yang merenggang nyawa akibat tak mampu bertahan hidup.

Beda bangsa beda nasib, sama-sama tercatat sebagai bagian dari wilayah NKRI, namun faktanya, orang rimba seperti warga negara kelas dua. Beda bangsa beda nasib, kata ini pun saya pilih untuk menggambarkan peliknya ketidakadilan dan diskriminasi orang rimba. Dan orang rimba memang sedang dijajah oleh negerinya sendiri, Indonesia.