OPANT: Mendorong Hutan Adat, Membuka Ruang untuk Perempuan

Sigi, www.gaung.aman.or.id – Workshop Konsolidasi Masyarakat Hukum Adat diselenggarakan di Ngata Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Kegiatan yang dilakukan sejak 28-29 Oktober 2019 itu menghadirkan masyarakat adat yang wilayahnya masuk dalam percepatan pengakuan hukum adat.

Rukmini Paata Toheke ditemui  disela-sela workshop di Balai Pertemuan Ngata Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi (29/10/2019) mengatakan persiapan pengusulan hutan adat itu sudah dilakukan sejak lama. Jadi, dalam proses itu sudah melengkapi dokumen dan melakukan konsolidasi di tingkat masyarakat adat.

Sambung dia, selain persiapan dokumen kita juga harus  menyatukan pandangan dan pengetahuan yang sama tentang hutan adat sehingga bukan hanya menjadi hal yang diketahui oleh pemerintah desa dan kelembagaan adat saja, tetapi secara utuh juga bisa diketahui oleh masyarakat adat yang wilayahnya masuk dalam percepatan dan pengakuan hukum.

Kemudian ia juga mengatakan bahwa masyarakat adat harus memahami data spasial dan data sosial dan itulah menjadi tujuan kegiatan ini dilaksanakan, ungkapnya.

Selain itu juga, Rukmini selaku Ketua Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT) mengatakan bahwa dirinya dan organisasi yang ia pimpin ingin membuka ruang perempuan untuk pengelolaan sumber daya alam.

“Pengakuan itu nantinya akan membuka akses untuk perempuan dalam keberlanjutan pengelolaan SDA, tetapi tidak lupa dengan keseimbangan ekologi,” katanya.

Kepentingan perempuan dalam hutan adat sangat banyak, misalnya mengelola kain kulit kayu, membuat bakul, parfum dan masih banyak lainnya. Kemudian juga perempuan adat punya pandangan jika menjaga hutan maka air tetap ada dan sawah terjaga.

Peran perempuan itu juga untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat adat sehingga penting juga mereka dihadirkan dalam workshop konsolidasi masyarakat adat Topomoma di Toro, Topouma di Masewo dan Topouma di Moa serta penyusunan strategi mendorong percepatan pengakuan hutan adat.

Menurut Tina Ika, sapaan akrabnya, mendorong hutan adat itu adalah kepentingan bersama dan perempuan juga bagian dari pengambil kebijakan atau dalam bahasa Moma (Topomoma) di Kulawi menyebut dengan pangala baha.

“Saya senang ada perwakilan perempuan karena punya peran penting. Perempuan juga telaten dalam menjaga kelestarian hutan dan pengakuan hutan adat ini membuka kembali ruang untuk mengakses hutan”.

Kalau pengakuan hutan adat itu terjadi maka ada kedaulatan, penghormatan atas kreativitas masyarakat adat sehingga mendorong pengakuan hutan adat menjadi solusi untuk pemberdayaan perempuan, pungkasnya.

Arman Seli