Quo Vadis Hutan Adat Sihaporas: Tutup TPL, Terbitkan Perda Masyarakat Adat

Siantar, www.gaung.aman.or.id – Sekarang diperlukan kemauan politik (political will) Pemda, baik Pemerintah Kabupaten Simalungun maupun DPRD Simalungun untuk segera mengeluarkan kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat khususnya di Sihaporas.

Desakan tersebut terungkap dalam Diskusi Publik “Quo Vadis Hutan Adat Sihaporas” yang  diselenggarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pematang Siantar di sekretariat Margasiswa PMKRI Pematang Siantar, Sumut, Selasa (29/10/2019).

Adapun narasumber diskusi ini yaitu Roganda Simanjuntak (Ketua BPH AMAN Wilayah Tano Batak ), Hotben Ambarita (Tetua Adat Sihaporas), Djoner Sipahutar (Kepala KPH Wilayah II Siantar) dan Prihartini Simbolon (Bakumsu).

Diskusi publik ini bertujuan menyatukan pemahaman mengenai kondisi pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dan wilayah adat di Simalungun, khususnya Masyarakat Adat Sihaporas yang saat ini berkonflik dengan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Seperti diketahui beberapa peraturan sudah memberikan peluang untuk mengakomodir pengakuan dan perlindungan Masyarkat Adat seperti Putusan MK No 35 Tahun 2012 tentang Hutan Adat Bukan Hutan Negara, Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, Permen LHK No. P.21 tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016 tentang Hak Komunal Masyarakat Adat dan UU Desa No. 6 Tahun 2014.

Masyarakat Adat Sihaporas sudah berjuang sejak tahun 1998 untuk merebut wilayah adatnya yang sudah puluhan tahun hancur akibat aktivitas masif perusahaan bubur kertas itu. Ladang rusak. Hutan yang dulunya lestari sebagai sumber penyangga ketersedian air bersih dan sumber untuk kebutuhan ritual adat hingga sumber obat-obatan kini telah hancur. Mata air pun tercemar.

Ditengah mereka memperjuangkan hak-haknya sejak dua dekade itu, mereka masih kerap dikriminalisasi. Saat ini, Jhony Ambarita dan Thomson Ambarita ditahan di Polres Simalungun hanya karena berladang di wilayah adatnya dan ditengah perjuangannya melawan perusahaan punya Sukanto Tanoto. Sebelumnya pada tahun 2004 juga ada tiga warga Sihaporas ditangkap dan divonis dua tahun penjara.

Sementara kepastian perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat di Simalungun pada umumnya dan Sihaporas khususnya sampai saat ini belum ada. Yang ada seperti kata pepatah, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Pemerintah lebih condong melindungi pemodal daripada Masyarakat Adat yang sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk.

Padahal UUD 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Adat dan menghomati hak-haknya. Rezim berganti rezim pemerintahaan belum sepenuhnya mengimplementasikan amanat tersebut.

Perlu diketahui, Masyarakat Adat sudah berbudaya dan membangun kehidupan dan peradabaan di atas wilayah adatnya di nusantara ratusaan bahkan ribuan tahun.

Wilson Nainggolan