Menyasar dan Memenjarakan Para Peladang

Andre Barahamin

 

Berpeci hitam, Gusti Maulidin, peladang 63 tahun asal Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringan Barat, Kalimantan Tengah ini, duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Pangkalanbun, Senin, 25 November, 2019. Kemeja merah marun terbungkus rompi oranye, sebagai penanda nomor para pesakitan di hadapan hukum.

Maulidin tak sendiri. Hari itu, dia ditemani oleh Sarwani, sesama peladang dan kawan sekampung. Lahan mereka tak berjauhan. Sarwani berusia sekitar 50 tahun, lebih muda dari Gusti Maulidin.

Mereka berdua adalah domino berikut dari rentetan kasus kriminalisasi yang menimpa para peladang tradisional, mereka yang masih mempraktkkan sistem tebang bakar saat membuka ladang.

Maulidin dan Sarwani, kena dakwa membakar hutan dan lahan.

Di hadapan jaksa, dengan mata kiri tidak lagi berfungsi, Maulidin mendengar dakwaan berlapis terhadap dirinya dan Sarwani.

Pertama, dakwaan sesuai Pasal 108 Jo 69 Ayat 1 Huruf H UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini aturan yang melarang semua orang membuka lahan dengan cara membakar. Kedua, Pasal 78 Ayat (3) Jo Pasal 50 Ayat (3) Huruf D, UU No 41/1999 tentang Kehutanan Jo UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal ini menjadi ancaman serius bagi siapapun yang kedapatan membakar hutan.

Ketiga, Pasal 187 ke-1 KUH Pidana yang menyasar siapapun yang dinilai oleh hukum telah dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau banjir, atau apabila perbuatan yang ditimbulkan seseorang menimbulkan bahaya umum. Keempat, Pasal 188 KUH Pidana untuk menghukum siapapun yang kurang lebih dianggap telah lalai hingga menimbulkan bahaya bagi fasilitas dan kepentingan publik.

Kasus penangkapan peladang tradisional yang menimpa Maulidin dan Sarwani bukan pertama kali.

Belum lama berselang, di Sintang, Kalimantan Barat, ada enam peladang tertangkap tangan sedang membakar di lahan ladang mereka sendiri. Penangkapan itu direspon dengan mobilisasi ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Anak Peladang (ASAP). Aliansi yang terdiri dari masyarakat adat dan mahasiswa, sempat menggelar unjuk rasa di Kantor DPRD Sintang, pada Selasa, 19 November 2019.

Aksi susulan dihelat Kamis, 21 November 2019. Sebanyak 19 organisasi kepemudaan Dayak yang tergabung dalam gerakan peladang Kalimantan Barat ikut tergabung dalam aksi susulan ini. Mereka menuntut enam peladang yang ditangkap harus dibebaskan tanpa syarat.

Mereka juga mengecam tindakan pemerintah yang dianggap tak berpihak kepada masyarakat kecil terutama para peladang di Kalimantan Barat. Tagar #PeladangBukanPenjahat lalu ikut bergema.

 

Membiarkan Raksasa Api

Setiap tahun, Indonesia selalu dibayangi bencana kebakaran hutan, areal perkebunan, dan lahan pertanian di berbagai provinsi seperti Sumatera dan Kalimantan. Kabut asap ini tak hanya mengancam kesehatan dan mengganggu kehidupan sehari-hari di dalam negeri, juga menyerang ke negara tetangga seperti Malaysia, dan Singapura.

Menurut Bank Dunia, pada 2015, bencana kebakaran dan kabut asap yang melanda Indonesia diperkirakan menghanguskan 2,6 juta hektar, menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp220 triliun (US$16 miliar).

Sebuah riset lain menunjukkan, kebakaran tersebut menjadi salah satu faktor penyebab lebih dari 100.000 kematian dini.

Kejadian ini kembali terulang. Data dari pemerintah, hingga September 2019, areal terbakar diperkirakan mencapai 857.756 hektar. Kebakaran pun terus berlanjut hingga Oktober. Rinciannya,  66.000 hektar di hutan tanaman industri (HTI), 18.465 hektar hutan alam, 7.545 hektar restorasi ekosistem (RE), dan 7.312 hektar di areal pelepasan kawasan hutan. Terbanyak di wilayah yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN yang sudah bersertifikat, seluas  110.476 hektar.

Walau angka kerugian ekonomis belum diketahui pasti, namun dampak paling nyata adalah penderitaan jutaan orang yang hidup dalam pekatnya asap selama berbulan-bulan. Selama periode kebakaran hutan dan lahan tahun 2019, hampir satu juta orang di Sumatera dan Kalimantan menderita infeksi saluran pernafasan akut. Bahan partikel halus akibat kebakaran sangat berbahaya, terutama bagi anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyampaikan peringatan bahwa kebakaran tahun 2019 membahayakan kesehatan 10 juta anak.

Kebakaran yang terjadi berulang kali di Indonesia pun berdampak pada kenaikan emisi karbon yang signifikan secara global. Karena terkonsentrasi pada lahan gambut kaya karbon, karhutla 2015 menurut Global Fire Data melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer dibandingkan dengan total emisi tahunan negara ekonomi besar seperti Jepang dan Inggris.

Menurut Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), kebakaran tahun ini juga melepaskan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi, beberapa emisi harian bahkan melebihi emisi tahun 2015. CAMS juga menyebutkan, karhutla di Indonesia hingga pertengahan November 2019 melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca (CO2). Jumlah emisi ini lebih dari semua emisi dari industri penerbangan internasional, dan diproyeksikan menjadikan Indonesia nomor enam di dunia negara terbesar untuk emisi CO2 secara keseluruhan di belakang AS, Cina, India, Rusia, dan Jepang.

Dalam laporan Perpetual Haze: Pulp Production, Peatlands, and the Future of Fire Risk in Indonesia yang diterbitkan oleh Koalisi Anti Mafia Hutan Indonesia, tercatat bahwa hingga 31 Oktober 2019, analisis titik panas kebakaran 2019 yang menggunakan data dari sensor Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) milik The National Aeronautics and Space Administration (NASA) memperlihatkan sebanyak 389.048 titik panas di Indonesia.

Dari jumlah ini, sebanyak 41.073 titik panas atau 11% terjadi di dalam areal hutan tanaman industri (HTI). Khusus Sumatera, 16% dari total 128.239 titik panas terjadi dalam areal HTI. Di Kalimantan, 10% dari 164.072 titik panas berada di areal HTI. Dari total titik panas di areal HTI, 49% terjadi di Sumatera, dan 39% di Kalimantan. Sisa titik panas lain di areal konsesi HTI terdapat di Indonesia bagian timur, sebagian besar di Sulawesi dan Papua.

Kalau dilihat per perusahaan, titik panas terbanyak terlihat dalam areal izin perusahaan, PT Bumi Mekar Hijau di Sumatera Selatan. Data sensor VIIRS menunjukkan, hingga akhir Oktober 2019, terdapat 3.064 titik panas terdeteksi di dalam batas konsesi PT Bumi Mekar Hijau. Perusahaan ini salah satu pemasok kayu ke pabrik milik Asia Pulp and Paper (APP).

APP adalah perusahaan serat dan bubur kertas, bagian dari Sinar Mas. Ia salah satu produsen serat dan bubur kertas terbesar di dunia yang didirikan Eka Tjipta Widjaja. Dengan 14 perusahaan besar di Indonesia dan China, APP memiliki kapasitas gabungan tahunan pulp, kertas, dan tingkat kemasan lebih dari 18 juta ton per tahun, dan memasarkan produk ke lebih 120 negara di enam benua.

PT Bumi Mekar Hijau pernah berurusan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015. Perusahaan ini digugat karena dianggap bertanggungjawab atas terbakarnya hutan seluas 20.000 hektar pada 2014 di Sumatera Selatan. Peristiwan kebakaran lahan ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp7.9 triliun. Gugatan ini telah diajukan mulai Februari 2015 dan telah menjalani serangkaian persidangan sebelum akhirnya diputuskan pada 30 Desember. Gugatan berakhir dengan kemenangan PT Bumi Mekar Hijau. Kemudian di tingkat banding, KLHK menang, tetapi dengan putusan ganti rugi perusahaan hanya Rp78,5 miliar miliar.

Titik panas dengan jumlah signifikan juga terdapat di konsesi perusahaan yang terafiliasi dengan APP lain, yaitu PT Rimba Hutani Mas di Jambi dan Sumatera Selatan, dengan 1.284 titik panas pada 2019. Di konsesi HTI PT Wirakarya Sakti, anak perusahaan APP di Jambi, ada 1.021 titik panas.

Titik panas tertinggi kedua terdapat areal konsesi perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL yaitu PT Sumatera Riang Lestari di Riau, dengan 2.075 titik panas terdeteksi pada 2019.

APRIL atau Asia Pacific Resources International Holdings Limited juga produsen serat dan pemilik pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia yang beroperasi terutama di Indonesia dan Tiongkok. APRIL terutama memproduksi pulp kraft kayu keras dan kertas bebas-kayu yang tidak dilapisi, termasuk kertas kantor dengan merek Paperone. Didirikan pada 1993, APRIL dikelola Royal Golden Eagle dan merupakan kepunyaan pengusaha Indonesia bernama Sukanto Tanoto. Royal Golden Eagle juga mengelola perusahaan di sektor kertas, minyak sawit, konstruksi, dan energi.

APP dan APRIL, bukan nama baru di kalangan para aktivis lingkungan dan pejuang masyarakat adat. Keduanya berkali-kali disebut dalam berbagai laporan mengenai penyebab kebakaran hutan dan lahan.

 

Dilarang Berladang

Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Maulidin dan Sarwani terbukti melakukan pembersihan lahan, mengumpulkan potongan kayu, ranting dan dedaunan kering untuk kemudian dibakar. Jaksa juga menyebutkan, saat itu terjadi angin kencang yang membuat api berhasil merembet ke areal hutan. Upaya memadamkan api, sebagaimana disebut dalam dakwaan itu, tak berhasil hingga membakar kawasan hutan seluas sekitar satu hektar. Perbuatan keduanya disebut menyebabkan kawasan hutan di seberang Sungai Lamandau, Desa Rungun, terbakar.

Saksi jaksa untuk membenarkan dakwaan terhadap Maulidin dan Sarwani adalah Wibowo Tri Laksono, seorang polisi. Wibowo adalah orang yang mengusut kasus ini dan merupakan pihak yang melihat langsung praktik tebang bakar oleh kedua terdakwa.

Dalam persidangan itu, Wibowo mengaku menyaksikan, tidak ada lagi api di lahan yang dibakar oleh Maulidin, meski tidak mau dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penangkapan kedua peladang tradisional itu.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, melihat dakwaan terhadap peladang masyarakat adat ini tidak tepat. Para peladang tradisional bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama ini.

Dalam rilis kepada media, Ketua Pengurus Daerah AMAN Kotawaringin Barat, Mardhani mengatakan, praktik membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar merupakan praktik turun-temurun dengan mendasarkan diri pada kearifan lokal.

Masyarakat adat hanya membakar sebatas untuk kepentingan ketahanan pangan lokal, tak untuk merusak lingkungan hidup.

Menurut Mardhani, pembakaran lahan sebelum ditanami untuk membantu proses penyuburan dengan cara menurunkan kadar asam yang terkandung dalam tanah. AMAN Kotawaringin Barat berkeyakinan, Maulidin dan Sarwani tidak punya maksud melanggar hukum. Sebagai peladang tradisional, keduanya dinilai tak memiliki solusi lain selain membakar lahan sebelum proses penanaman.

Lagipula, menurut data yang dikumpulkan AMAN Kotawaringin Barat, lahan yang dibuka dengan cara dibakar oleh Gusti Maulidin, secara riil bukan lagi tutupan hutan. Kawasan itu sudah berulang kali jadi tempat berladang. Dahulu di lokasi ini sudah pernah ditanami berbagai jenis tumbuhan seperti padi, karet (para), kopi, dan rotan.

Sikap ini juga didukung Pengurus Besar AMAN, di Jakarta. Direktur Hukum dan Advokasi, PB AMAN, Muhammad Arman, mempertanyakan, proses penegakan hukum atas tindak pembakaran karhutla yang lebih sering menyasar para peladang kecil, dan tak mampu menjerat korporasi pembakar hutan. PB AMAN juga menyoroti sikap aparat penegak hukum yang memperlakukan para peladang tradisional sebagai penjahat lingkungan dan sasaran kriminalisasi.

Sangat umum terjadi di mana para peladang tradisional yang menggunakan metode tebas bakar dikambinghitamkan atas kebakaran hutan dan lahan. Padahal, pelaku kesalahan utama adalah perusahaan besar, yang mengeringkan lahan gambut dalam skala luas untuk membudidayakan tanaman monokultur. Areal tanam berskala industri ini umumnya ditanami sawit dan akasia sebagai bahan baku produksi bubur kertas. Pengembangan HTI dan perkebunan di lahan gambut terdrainase menciptakan bentang alam luas yang sangat rentan kebakaran.

Pemerintah tampaknya enggan menerima fakta, kalau kebakaran di gambut membakar lebih lama, menghasilkan lebih banyak asap dan kabut, dan melepaskan jumlah karbon jauh lebih tinggi ke atmosfer daripada di lahan mineral. Aparat keamanan pun segan dengan perusahaan, dan lebih memilih menangkapi para peladang tradisional.

 


Artikel ini tayang perdana di Mongabay Indonesia. Penulis adalah Direktur Infokom PB AMAN.