Rekognisi Masyarakat Adat

La Ode Machdani A

 

Dalam beberapa bulan terakhir, desakan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat semakin kuat. Tidak hanya berasal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai garda terdepan yang mendorong pengesahan RUU itu, tapi juga berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para aktivis dan akademisi. Desakan tersebut menguat kembali ketika memasuki awal periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Meski pada 2018 Presiden Jokowi sudah mengeluarkan surat presiden (surpres) dalam rangka pembahasan RUU Masyarakat Adat, hingga kini pembahasan itu tak kunjung membuahkan hasil sehingga menghambat upaya pengesahan RUU tersebut.

Di Indonesia jumlah adat atau masyarakat adat ribuan. Tapi, kelompok masyarakat adat itu masih berada dalam posisi rentan terhadap berbagai tindakan kekerasan, konflik, dan kriminalisasi. Terutama ketika berhadapan dengan negara, pihak swasta, maupun kelompok mayoritas. Bahkan, kelompok masyarakat adat tampak menjadi tamu di tanah leluhur sendiri. Padahal, jika ditilik dalam sejarah, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat tradisional yang telah ada sejak lama di Nusantara, bahkan sebelum negara (nation state) terbentuk. Meski demikian, selama ini negara tampak seolah tidak sungguh-sungguh peduli terhadap nasib masyarakat adat.

 

Pentingnya Rekognisi

Masyarakat adat adalah sebuah warisan, keunikan bangsa, dan entitas sosial budaya yang merupakan bagian esensial dari keberadaan bangsa Indonesia. Bahkan, jati diri bangsa Indonesia tidak lepas dari keberadaan kelompok masyarakat adat ini. Untuk itu, sudah sepatutnya negara memberikan rekognisi (recognition) terhadap masyarakat adat melalui pengesahan RUU Masyarakat adat. ILO menyebut terdapat sekitar 5.000 kelompok masyarakat adat di Indonesia, sedangkan AMAN sendiri menyatakan sudah beranggota 2.359 komunitas adat yang tersebar di seluruh Indonesia.

Namun, laporan AMAN per Juli 2019 menunjukkan bahwa telah terdapat 153 kelompok adat yang terlibat dalam konflik dan sudah menewaskan 268 orang masyarakat adat. Sejumlah isu yang terkait dengan masalah yang dihadapi masyarakat adat tersebut adalah soal pengambilalihan lahan oleh negara maupun korporasi, aktivitas pertambangan, alih fungsi lahan, serta perkebunan yang sebagian kasus mendapat dukungan secara tidak langsung melalui kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut telah berimplikasi pada penghilangan hak-hak masyarakat adat.

Sebagai kelompok yang ”terasingkan”, masyarakat adat juga rentan dan mudah diprovokasi, diancam, serta ditindas elite negara dan nonnegara yang pada akhirnya berdampak pada terjadinya kekerasan, kriminalisasi, dan konflik. Dalam arena politik, kelompok masyarakat adat ini kerap menjadi target-target dari elite maupun partai politik untuk kepentingan mobilisasi suara yang berakibat terjadinya polarisasi dalam masyarakat adat sendiri. Di level global, tantangan lain dari masyarakat adat adalah globalisasi budaya dan modernitas yang kian menggerus nilai-nilai lokal. Pada titik ini, kehadiran dan rekognisi negara terhadap masyarakat adat menjadi sangat krusial.

Negara sebenarnya telah memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat melalui UUD 1945 pasal 18B (2) di mana masyarakat adat diistilahkan dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan pasal 28I (3) sebagai Masyarakat Tradisional. Namun, dua pasal tersebut belum secara jelas memberikan penjelasan detail mengenai dua istilah itu. Begitu pun kehadiran sejumlah regulasi sektoral lainnya dan perda yang mengatur masyarakat adat, sejauh ini masih menjadi polemik bagi masyarakat adat. Karena itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat.

Sebetulnya pengesahan RUU tersebut adalah bentuk rekognisi negara yang nanti menjadi titik awal perbaikan nasib masyarakat adat. Charles Taylor (1994) dalam buku Multiculturalism: Examining Politics of Recognition yang ditulis bersama sejumlah penulis lainnya menegaskan bahwa tanpa adanya sebuah rekognisi, bisa mengarah pada bahaya. Baik dalam bentuk penindasan (oppression), pengekangan, maupun distorsi. Taylor menegaskan bahwa rekognisi adalah kebutuhan vital dari manusia. Selama ini, sebagaimana dialami masyarakat adat, rekognisi hanya muncul sebagai sebuah tuntutan (demand) yang harus diperjuangkan masyarakat adat karena negara yang tak acuh dan seolah tidak mengakuinya.

Untuk itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat ini akan menandai transformasi rekognisi dari demand menjadi kewajiban (obligation). Di mana negara tidak semata memberikan rekognisi atau pengakuan, tapi juga perlindungan, penghormatan, dan memastikan pemenuhan bagi hak-hak masyarakat adat.

Hegel (1807) telah mengingatkan bahwa rekognisi harus dibentuk melalui kesetaraan dan dimediasi melalui institusi yang menjamin kesetaraan serta menciptakan relasi saling rekognisi (mutual recognition). Dengan cara seperti itu pula, hubungan antara negara dan rakyat (masyarakat adat) yang selama ini tampak ”bermusuhan” akan semakin baik.

 

Agenda Mendesak RUU

Saat ini RUU Masyarakat Adat sudah masuk Prolegnas Prioritas 2019. Kita berharap RUU tersebut bisa segera disahkan dan berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan. Pertama, RUU tersebut harus memastikan bekerjanya fungsi negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak kelompok masyarakat adat. Kedua, RUU itu harus bisa mengatasi berbagai peraturan sektoral yang selama ini berlaku dan mengakibatkan terjadinya konflik serta kekerasan terhadap masyarakat adat.

Ketiga, RUU tersebut harus memperhatikan pula upaya untuk memperkuat masyarakat adat ataupun kelembagaan masyarakat adat sehingga mereka memiliki kekuatan dalam bernegosiasi, berpartisipasi, dan menentukan sikap politik mereka dalam berbagai hal yang terkait dengan urusan-urusan publik mereka. Keempat, memastikan hak-hak kultural masyarakat adat direkognisi dan dihormati sebagai sebuah keunikan yang harus dijaga serta dilestarikan. Dengan kata lain, RUU itu harus memperjelas hak-hak kultural seperti hak atas wilayah atau tanah yang menjadi kepemilikan bersama kelompok masyarakat adat.

Mendudukkan hak adat seperti kepemilikan tanah atau wilayah hutan menjadi penting karena mereka yang lebih tahu bagaimana hutan/tanah adat dilindungi dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama adalah masyarakat adat sendiri. Selain itu, adanya jaminan terhadap hak dasar mereka seperti hak hidup secara layak, hak atas rasa aman, hak atas pendidikan, dan hak sipil lainnya. Terakhir, dalam merespons perkembangan globalisasi dan modernitas yang terus menggerus nilai kultural adat, diperlukan strategi budaya yang dilaksanakan kelembagaan tertentu secara terpusat dalam rangka menjamin dan menjaga otentifikasi nilai budaya sebagai warisan bangsa. (*)

 


Penulis adalah Staf pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Brawijaya Malang. Tulisan ini pertama kali tayang di Jawa Pos Online.