Beda Latar Belakang, Tapi Kita Satu Cinta di Rumah AMAN

Indah Salimun Mantjabo

 

AMAN yang kumaksud adalah singkatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, ormas Masyarakat Adat terbesar di dunia. Kalau belum kenal, kuy pantengin aja di laman resminya, www.aman.or.id.

Sebelum lanjut, tulisan ini mengandung testimoni, pandangan pribadi penulis tentang AMAN dan cerita selama lima bulan magang di Pengurus Besar (PB) AMAN.

Tulisan ini change-able bahkan erase-able. Tabe, untuk yang namanya tersebutkan mohon izin, andai jika ada yang tidak berkenan mohon berkabar agar segera ditanggalkan dan kepada yang merelakan namanya disebut tarima kasih.

Lima bulan lebih lima belas hari kakiku menginjak tanah mamakota- Jakarta, untuk kali kedua dalam agenda yang diselenggarakan AMAN. Kali pertama untuk berdiam lima hari, sedangkan pada kesempatan ini lima bulan lebih tujuh hari di Tebet Timur Dalam Raya No. 11 A Jakarta Selatan, Rumah AMAN menjadi alamat domisiliku.

Dikali pertama, aku datang untuk mengikuti pelatihan pemantapan biro/bidang organisasi, kaderisasi dan keanggotaan (OKK), salah satu direktorat terpenting di Kedeputian I Sekjend AMAN. Kali kedua ini aku datang sebagai pemagang (atau yang biasa kujawab belajar sambil kerja, saat ada yang menanyakan apa yang aku lakukan di Jakarta) urusan sekretariat dan keuangan di PB AMAN sebagai utusan dari komunitas adat Sidole (1 dari 2371 komunitas yang terdaftar sebagai anggota AMAN), AMAN Daerah Parigi Moutong, AMAN Wilayah Sulawesi Tengah.

Tercatat magangku kali ini adalah gelombang IV (sebenarnya sudah banyak gelombang magang sebelumnya hanya saja belum atau tidak dicatat urutannya). Pada magang kali ini pesertanya ada 10 orang dari berbagai daerah. Utusan Sulteng ada aku dan Widya Stevi dari Lindu, AMAN Daerah Kulawi. Selanjutnya ada kakak Dina Toto, dari Nechebe, Jayapura; abang Yohanis Sarles Ulimpa dan pace Hendrikus Sani dari Moi Kelim, AMAN Daerah Sorong Malamoi, Papua Barat; bang Supardi dari Pusu, Sumbawa; bang Bobpi Kaliyono dari Kanayat’n, Kalbar; bang Kristian Pangestu dari Lewu Tumbang Malahoi, AMAN Daerah Gunung Mas-Kalteng; Ridho Dewantara dari Marga Melinting, Lampung; dan Bonifansius Dadin dari Dobo, Flores.

Selain kami bersepuluh, masih ada dua orang kakak kelas magang yang menjadi “ayah-ibu” kami selama magang yaitu Opik Muhammad Rofik dari Batuwangi, Garut dan Khaeruddin dari Barambang Katute, Sinjai-Sulsel.

Alhamdulillah wasyukurillah kedatangan kami disambut hangat oleh bang Jekki Angkat selaku kepala sekolah magang di AMAN. Beliau menjemput aku dan Stevi di Pancoran untuk diantarkan ke Rumah AMAN.

Pekan pertama berlalu dengan perkenalan dengan sesama anak magang, kemudian dilanjutkan dengan para staff PB AMAN. Dari perkenalan kudapati dari sepuluh orang pemagang, ada tujuh orang yang beragama Nasrani (ada yang Katholik juga Protestan) dan tiga orang beragama Islam (Aku, Ridho dan Pardi).

Staff PB AMAN pun berasal dari daerah yang berbeda-beda mewakili 7 region ala AMAN, yaitu: Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, dan Bali Nusra (Nusa Tenggara). Berbeda keyakinan/kepercayaan, ada yang Islam, Nasrani dan agama leluhur. Beda bukan sebab untuk saling mencela, di sini aku belajar makna lakumdiinukum waliyadin- potongan ayat Surah Al Kaafirun, yang berarti bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Rumah AMAN memang miniatur bhinneka tunggal ika.

Banyak hal yang aku dapatkan selama berada di rumah ini, di antaranya toleransi, tanggung jawab, kerja keras, kepedulian, perasaan senasib dan sepenanggungan, ketelitian, bersyukur dan menikmati proses.

 

Tentang Adat

Aku terlahir di keluarga yang beradat. Jika dirunut berdasarkan silsilah, nenek moyangku adalah pemangku adat, hingga menurun ke papa yang sekarang diamanahi sebagai sekretaris adat kecamatan. Namun pengenalanku tentang adat masih minim khususnya tentang adatku sendiri: Kaili. Tapi aku bukan termasuk yang menolak adat ataupun menerima secara mentah-mentah semuanya sejak Allah mengaruniakan akal yang bisa dipakai untuk berpikir.

Di tempat tinggalku, Sidole Barat 100 persen muslim dan bersuku Kaili. Hanya sekitar 2-10 persen pendatang Bugis dan Jawa. Namun corak adat sudah memudar, seperti kain kehidupan kami, tinggal sekadar “pelengkap” saja. Muda-mudi sudah mulai tak kenal adat, bahkan bahasa saja sudah tergolong punah untuk kelompok usia 20 tahun ke bawah. Mereka sudah tidak mau bahkan tidak tahu arti dari bahasa sendiri – Kaili Lauje. Aku pun termasuk di antaranya. Tapi adat masih menjadi hal yang sakral dalam diriku dan bahasa Kaili Lauje masih bisa kueja dan pakai bercakap-cakap saat bersama dengan sesama orang Kaili dan aku cukup mengerti meski mengucapkan kadang masih belepotan dan ada beberapa frasa yang jarang kudengar dan aku belum mengetahui artinya.

Terlebih, tentang tata laku kesopanan dan pergaulan banyak muda-mudi yang tak lagi menaruh hormat sebagaimana mestinya pada yang lebih tua dan salah gaul. Ini fenomena nyata meski sedikit berbeda di tempat lain.

Di AMAN, aku disadarkan akan fenomena itu. Aku jadi iri saat mendengar cerita teman-teman lain tentang kampungnya yang adatnya masih terjaga bahkan pada generasi muda hingga usia dini. Aku pun bertekad saat kembali dari Jakarta akan membuat sekolah adat di mana akan ada kelas alam yang akan menceritakan kepadaku tentang adat di kampungku. (Alhamdulillah, projek besar ini sudah kuceritakan pada teman-temanku mereka setuju dan pemangku adat di kampungku sangat antusias menderngarnya – merespon dengan sangat baik dan insya Allah akan menjadi bagian dari resolusi di 2020).

Adat “mengajarkan” banyak hal kepada manusia, meski asal-usulnya belum jelas bagiku, aku masih mencarinya. Tapi secara alami adat bersumber dari naluri kemanusiaan setiap manusia dari Penciptanya, tentang menghargai orang lain, menjaga diri, keluarga, harta dan lingkungan dari merugi ataupun dirugikan orang lain.

Adat menjadi norma kehidupan bagi masyarakat yang terikat oleh wilayah tertentu jauh sebelum manusia mengenal agama dan hukum positif.

 

Berkenalan dengan AMAN

Tahun 2012/2013 menjadi awal perkenalanku dengan AMAN, tepatnya mendengar namanya. Pada ormas yang sudah berumur 20 tahun ini, papa pernah belajar dan mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan. Dari cerita beliaulah aku mengenal AMAN.

Setelah itu tak banyak, hanya sekadar lalu, aku belum tertarik untuk mendekat dan mencipta berakrab dengannya. Hingga kemudian papa dan Om Samsudin (adiknya mama) terlibat langsung sebagai Ketua BPH AMAN Daerah Parigi Moutong (Parimo).

Keikutsertaanku pada pelatihan bidang OKK sebelumnya menjadi titik balik aku mendekati AMAN bahkan mulai mengaguminya dan mulai mengenalkannya pada “duniaku”.

AMAN menjadi sumber pertama yang akurat untuk mengenal keberagaman suku bangsa yang ada di nusantara.

AMAN menjadi yang pertama bersentuhan dengan Masyarakat Adat saat negara mulai lebih melirik pemodal dari pada masyarakat sebagai “istrinya”. Pemodal ibarat pelakor yang menawan lagi menggoda, tapi hanya untuk mengenyangkan dan memenuhi kebutuhannya dengan menguras suami orang lain dengan dalih cinta dan peduli, yang sejatinya palsu.

AMAN menjadi yang ikut merasakan sakit, saat Masyarakat Adat dikriminalisasi atas ketidakbecusan negara mengelola tanah – wilayah adat dan kambing hitam bagi kerusakan alam yang nyatanya perbuatan “pelakor” diamini negara dengan sadar ataupun tidak.

Orang-orang di Rumah AMAN

Seperti kusebutkan sebelumnya di sini semua berbeda, tapi cinta menyatukan. Bagaimana kita yang tak pernah kenal, tidak tahu adat di daerah lain berkumpul untuk saling memahamkan dan memahami perbedaan yang iya-nya adalah anugerah dari yang Kuasa dengan tetap teguh pada adat dan pilihan sendiri yang dianggap benar tanpa merasa lebih benar dari yang lain.

Bagaimana postur tubuh, warna kulit, struktur rambut, cara berpakaian dan dialeg yang berbeda bertemu tanpa merasa lebih tinggi derajatnya sebagai manusia dari yang lainnya.

Sungguh indah bukan?

Aku dengan postur tubuh yang kecil, kulit sawo matang, berjilbab dengan menjulur minimal menutupi bagian dada, insyaa Allah. Tutur cukup kasar dan blak-blakan, suara keras (khas orang Sulawesi) dan hampir dua tahun terakhir berusaha untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahrom – orang yang tidak boleh dinikahi, tidak langsung dianggap aneh dan aku menganggap mereka aneh. Banyak yang berbeda, tetapi cinta yang menyatukan – menghadirkan paham dan menerima dengan lapang.

Bagaimana mereka yang sudah berjasa banyak di AMAN, menerima, mengajarkan kami yang baru mengenal AMAN dengan ramah dan penuh pengertian?

Waktu itu AMAN sedang menyelenggarakan outing, kami para pemagang pun diikutkan, menikmati puncak Bandung yang dinginnya menusuk hingga ke tulang, menikmati wahana yang disiapkan oleh pemilik penginapan, dari game seru seperti panahan dan flying fox.

Tidak pernah merencanakan untuk ikut flying fox-an, terlebih instrukturnya semua laki-laki.  Bersentuhan langsung sebenarnya adalah hal yang sulit kuterima. Tapi karena semuanya mendorongku ikut, aku pun ikut walau perasaan sedikit cemas. Tapi tanpa ba-bi-bu kakak Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi yang juga paling bersemangat dengan wahana ini meyakinkanku ikut mencobanya datang menghampiri, dan meminta kepada intrukturnya agar memasangkan simpul pengaman dengan aman bahkan beliau sendiri dengan ramah ikut membantu memasangkan perlengkapan flying fox-ku.

Itu membuatku terharu dan merasa dihargai. Kak Rukka orang yang ramah, cerdas, tegas, tapi suka bercanda dan candaannya cool. Terima kasih kak untuk semuanya.

Bagaimana mereka yang sudah banyak tahu dengan telaten mengajarkan kami yang pemula. Misalkan tentang tulis-menulis, mereka menghadirkan Opung Nestor Rico Tambunan sebagai pemantik semangat dan motivasi untuk menulis.

Staff Infokom AMAN yang ramah, cerdas dan sedikit kocak. Kak Nura yang cerdas, ramah dan lucu. Bang Andi yang kocak dan sangat jago sebagai video maker. Kak Titi yang ceria, ngomongnya to the point dan kece beudd, punya anak perempuan yang wajahnya mirip kayak kembaran beda usia jauh. Bang Rio yang saat pertama kali membaca nama lengkapnya pikirku itu adalah nama-namaan ala bucin “buruh cinta” (menggabungkan nama dengan nama kekasih, FYI namanya Chresly Vikario). Keduanya penyiar andalan AMAN. Penasaran? Stay tune di Radio Gaung AMAN dengan salah satu programnya Warung AMAN untuk mendengarkan suara merdu mereka yang menceritakan tentang Masyarakat Adat dan kehidupannya, setiap hari Jum’at.

Bang Jakob Siringoringo yang telaten dengan tugasnya dan sempat meluangkan waktu untuk mengajariku dan memberikan tugas latihan. Dia menjadi orang yang membuatku percaya diri untuk menampilkan tulisanku di depan teman-teman dan khalayak. Pria asal Tano Batak ini cukup baik, beberapa kali mentraktir squad D.I.S (Dinna, Indah, Stevie, ini singkatan pemberian kepsek dan jadi nama WAG khusus) ice cream. Sekarang dipercaya sebagai Pjs Ketua Umum BPAN (Barisan Pemuda Adat Nusantara) menjadikannya semakin sibuk. Semangat dan sukses selalu bang dan makasih untuk semuanya.

Tim OM (Operasional Management) yang kece ada kak Rainny Situmorang yang cantik, cerdas, tegas dan berwibawa. Dia begitu anggun apalagi sering traktir ice cream, huhui (hahaha). Ada Pak Lesus bos keuangan yang mengajarkan bagaimana mengelola keuangan di AMAN bersama timnya kak Fitri, kak Ona juga kak Fita sebagai penghuni ruang atas yang super sibuk. Mereka juga sering mengajak ke tempat makan yang belum pernah didatangi, seperti Resto Korea/Chinese yang makan pakai sumpit pula. Kak Derlin dan kak Astrid tim sekretariat yang kece badai. Yang pertama mudian, tapi baik beudd dan suka ngajakin makan juga. Kalau yang kedua udah nikah jadi lebih tenang. Suka bagi-bagi makanan. Pertama berkenalan kami mengira dia orang Korea. Perempuan berdarah Yogya ini berkukit putih dengan cat rambut pirang senada warna kulit membuatnya terlihat seperti bule. Terima kasih untuk semuanya.

Tim OKK yang sibuk luar biasa tapi selalu selow dan kocak ada bang Eus (Eustobio Rero Renggi), bang Riky Aprizal yang sebentar lagi akan jadi ayah, semoga istri dan cadebaynya diberi kesehatan, jaga kesehatan bang. Ada bang Jekki Angkat, Kepala Sekolah yang ramah dan paling sering bercanda – menunjukkan rayuan-rayuannya. Bang Awaluddin yang sibuk kuliah sambil kerja, sampe susah gemuk dan belum dapat pasangan yang pas *ups (kabuuuur). Kak Silvy yang cantik sendiri di OKK, sering ngajakin jalan. Aku pernah diajak ke Bundaran HI ikut jalan santai, makasih atas semuanya.

Di tim Rumah Tangga ada bang Senda yang ramah dan jago masak masakan nusantara, hanya saja cukup pedis menurut levelku, hehe. Ada bang Asep yang siaga di kantor menjaga kebersihan dan kelengkapan kantor, Kak Deby koki andalan makan siang AMAN  yang  meyakinkanku untuk percaya diri memasak dengan jargonnya, “Pede aja kalau menurut kamu masakan kamu sudah enak, pas. Yakin saja yang lain juga akan merasakan hal yang sama”. Teh Ina dan bang Uda yang ramah, cinta kebersihan dan kerapian. Terima kasih untuk semuanya.

Di Deputi II Sekjen AMAN urusan Hukum dan Politik ada bang Erasmus Cahyadi, bang Arman,  bang Tommy, bang Abdi, bang Sinung, bang Yayan dan kak Monic yang imut dan paling cantik. Kesemuanya luar biasa cerdas dan ramah-ramah.

Di Deputi III Sekjen AMAN urusan PEPSAL (eko-sumber daya, dll) ada bang Mirza, bang Monang, bang Andri, bang Kipli, kak Feri, dan staff Rumah AMAN Sempur- Bogor (FYI, AMAN punya dua kantor di Tebet dan di Sempur). Kak Keni yang gayanya laki, tapi super ramah dan baik hati dan suka berbagi, teh Ika, tim keuangan AMAN Sempur yang teliti banget, kak Ina sekretaris yang ngurusin jadwal Sekjen, sebulan lalu baru melahirkan pejuang tangguh, insyaa Allah semoga jadi penyejuk mata bagi kedua orang tua. Bang Andi driver andalan kakak sekjen. Bang Singgek dan teh Emi tim Rumah Tangga AMAN Sempur yang masakannya wenak tenan. Terima kasih atas semuanya.

Di Deputi IV urusan Kebudayaan ada kak Mina Setra yang cerdas, cool dan kece abis, terakhir lagi kurang sehat, jaga kesehatan yaa kak. Bang Galis dan bang Marolop yang serius di sekolah adat tapi paling suka menggangu tentang hal-hal mistis, suka ganggu dan panggil aku dengan panggilan Wen/Wentira – tempat sakral di Sulteng tepat di Jalan Trans Sulawesi. Yang dibelakangnya jangan dicuekin terus yaa bang, wkwkw. Terima kasih semuanya.

Di tim volunteer, ada bang Dian noluten andalan yang jago banget ngetik dengan konsentrasi dan pendengaran yang mantap beuddd, mencet keyboard laptop udah kayak main hentak jari sembarang di atas meja.

Bang Andre yang cerdas dan menggugah semangat mengenal adat sejak materi pertama di kelas dan kini dapat amanah sebagai Koordinator Infokom AMAN, semangat terus bang, kurangi kebiasaan buruknya. Sebenarnya masih ada tanya yang belum terjawab di kepalaku tentang alasan mengapa bang Andre menetapkan aku sebagai hal kedua yang ditakutinya jika berada di kantor, yang pertama tikus. Kalau ketemu lagi nanti jelaskan yaa bang. Terima kasih atas semuanya.

Dan untuk yang tak tersebut namanya maafkan aku, semoga kebaikan kalian semua terbalas kebaikan yang lebih baik kepada kalian.

 

Tentang Teman Magang

Kumulai dari Stevi (magang Sekretariat dan Keuangan), sebagai tim magang yang pertama kali berkenalan asbab sewilayah. Dara Lindu empat tahun di bawah usiaku ini adalah gadis cantik yang doyang live di medsos kecuali saat pulang kampung (karena belum ada jaringan internet), berselera makan sangat baik, tukang bajalan kalau orang Palu bilang, sampai-sampai pernah di suatu malam ahad, piket menyiapkan makan malam menjadikan kami berdua harus keluyuran mencari bahan makanan bolak-balik Tebet. Masuk gang sana-gang sini dengan motor kurang pencahayaan di malam hari, sehingga beberapa kali aku harus membetulkan posisi dudukku bahkan hampir jatuh saat lintasan yang dihiasi polisi tidur dilalui dengan kecepatan sama dengan saat melalui jalan biasa. Telusuri pasar atau tempat-tempat yang menyediakan bahan makanan, sampai-sampai menuju jalan besar Pancoran tanpa helm, bahkan hampir melanggar lampu lalu lintas (karena tidak perhatian, berhenti hampir tepat sejajar tiang apill, sementara orang ramai berbaris rapi diseberang cross line, baugal (ugal-ugalan) – mobikin mamakota kayak Palu). Dia memiliki pribadi pengenal, asik diajak ngobrol tapi mudah tersinggung dan tersulut amarah apalagi jika harus bersangkut dengan rayuan pak kepsek dan babang Bobpi.

Kak Dinna (magang sekretariat dan keuangan), gadis Jayapura dengan suara dua belas oktaf, blak-blakan. Taat beribadah, pengasih, perhatian jadi sosok kakak perempuan yang kece selama di Tebet. Sekarang lagi di kampung kekasih hati. Aku dan Stevi masih menanti tiket ke DJJ jika resepsi nanti, hihi jaga kesehatan kak.

Kakak Sarles (magang OKK) satu-satunya yang tidak merokok di geng magang gokils, paling gokils juga. Muka boleh sangar, tapi kalau senyum teduh wae suara lembut. Jadi kakak laki-laki yang paling pengertian saat di Tebet,  sering bantuin angkat ember cucian yang siap dijemur ke atas, makasih kakak, dia bahkan jadi asisten kepercayaan pak kepsek.

Bobpi (magang advokasi). Pengacara asal Kanayat’n ini cerdas, saking cerdasnya bahasannya terlalu tinggi susah dimengerti (ilmiah -formal beudd) cukup rupawan tapi jago ngegombal saingan terberat bang Jekki untuk meluluhkan hati bebeb Stevi. Paling suka bikin kehebohan di WAG dengan postingan-postingan nyelenehnya atau kemunculan WhatsApp Group (WAG) baru.

Pardi (magang Ekosob), pemuda adat asal Pusu-Sumbawa yang aku dan Stevi pikir adalah Staff PB AMAN saat pertama datang ini memiliki kepribadian yang cukup tenang, suka bercanda, cerdas dan pembelajar. Terakhir fokus mendalami tentang kopi dari penanaman hingga penyajian, tapi belum pernah disajikan kopi, next time kalau ketemu lagi buatin kopi yaa bang. Tapi dia orang terakhir yang berpisah denganku. Asbab jam penerbangan pulang sama menjadikan aku dan dia ke bandara bersamaan, hal yang melegakan sebenarnya. Karena tidak bisa membayangkan jika harus ke bandara sendirian diantar babang Grab jam dua dini hari dengan bawaan yang cukup berat. Dengan adanya dia, kepulanganku tergolong aman. Kami berpisah tepat di depan gate 4 terminal 1A, kulambaikan tangan saat kulihat dia telah selesai melakukan pemeriksaan barang bawaan dan berjalan menuju gate 6.

Pace Hendrik (magang OKK), calon Ketua BPH AMAN Daerah Sorong ini jadi kakak tertua di magang gokils. Sempat tersalah tentang usianya yang menurut  pendengaran kami saat perkenalan lahir tahun 1998 entah itu kesengajaan atau kealpaan. Beliau yang paling cepat pulang karena penyakit asam uratnya kambuh kalau makan sayur kangkung, yang menjadikannya sempat dirawat di rumah sakit dua kali berturut turut. Lalu kemudian dipulangkan agar mendapat penanganan yang lebih tepat di kampung. Saat asam uratnya naik, dia tidak bisa berjalan dengan baik bahkan beberapa kali harus dipapah dan dibopong oleh teman-teman.

Kris (magang ekosob). Guru Bahasa Indonesia muda ini berpostur tinggi dan berisi, karenanya dialah yang mendapat kepercayaan membopong pace Hendrik. Pria berhati lembut dan penyayang ini akan menjadi sangat lantang penuh semangat dan berapi-api kalau lagi membahas tentang Masyarakat Adat di ruang diskusi (kami pernah sampai kaget dibuatnya). Ia jadi yang kedua tercepat pulang karena akan bertunangan dengan kekasih hati, ais ups, Danti Utami. Ditunggu kabar terbarunya Kris, undangan plus traktiran tiket pesawat saat resepsi tidak akan kami tolak.

Ridho (magang advokasi), pertama kenal agak susah memahami apa yang dia ucapkan. Ngomongnya cepat tapi akhirnya bisa juga untuk dimengerti. Anak Ketua BPH AMAN Daerah Lampung ini akan sangat ekspresif kalau sedang berbicara serius. Saking ekspresifnya, alis akan bergerak seirama dengan gerak mulutnya. Dan jadi yang paling sering meminta bantuan  (pesanku kalau ada orang lain butuh bantu yaa).

Boni (magang pemetaan), adik kedua terakhir berdasarkan umur di geng magang gokils. Pria asal Flores ini berbadan tegap, meski kadang suka dikemayu-kemayukan. Hobi video call-an. Di awal perkenalan jadi yang paling irit mengucapkan kekata – berbicara dan menanggapi pembicaraan hanya dengan senyum manisnya. Terakhir lihat postingan tentang dia digrup sudah banyak perubahan penampilan, contohnya warna rambut diperbarui, pirang kayak bule. Semangatnya memetakan wilayah adat akhir-akhir ini diikuti dengan semangat memetakan hati perempuan. Tak apa memetakan hati perempuan asal jangan mematahkan hati perempuan yaa dek dan emangat terus ya.

Teman Lain

Kumulai dengan ayah dan ibu kami, Opik (magang OKK), lelaki Sunda ini sangat menghargai orang lain, ngomongnya sopan banget, kalem dan suka merendah. Paling rajin, dan jadi kesayangan kakak Sekjen. Perhatian dan penurut tapi kadang sangat penurut terima saja apa yang ada tanpa mengeluh (ini yang bikin gemes). Tapi dia orang yang baik.

Deen/Anjay “aslinya Khaeruddin” (magang infokom); anak Sinjai ini sedikit pendiam. Menurut pengakuannya dia tidak terlalu fasih berbicara di depan khalayak, tapi siap bercerita panjang lebar lewat tulisan. Pribadi yang peduli dan perhatian. Tulisannya baik, pemilihan diksinya menarik. Dia lelaki penyanyang.

Lalu Giat Perwangsa (magang Infokom), tokoh figuran yang muncul setelah perhelatan HIMAS/ 20 tahun AMAN hingga akhir cerita. Menurut pengakuannya, tampangnya tampang preman, acak-acakan. Tapi dia baik dan hatinya mudah tersentuh. Jadi partner bang Andre dengan segala aktivitasnya. Menurutku dia pengagum bang Andre dan bang Andre sangat menyanyanginya. Kalau versiku dia Andre Sitter (baby sitter untuk bang Andre). Pria asal Lombok ini penyayang dan pencinta wanita yang kalau versinya bang Andre Playboy cap *ai.

Kak Surti, perempuan single parent yang tangguh ini luar biasa beudd. Saat sudah memiliki dua orang anak, yang tertua sudah SMA, tapi saat bertemu kau takkan percaya dia sudah punya anak, karena penampilan cantik dan modisnya membuatnya terlihat seperti ABG, hehe. Dia masih semangat untuk menuntut ilmu. Saat ini kuliah dan sudah semester akhir – semester terberat karena banyak tugas. Semangat terus kakak. Perempuan asal Banyuwangi ini menekuni dunia hukum, kuliah di sekolah hukum Jentera, berniat mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Banyuwangi. (Entar kalau kekurangan pegawai, berkabar yaa kak). Teman tidur sekasur, kecuali lagi tukar posisi – pindah di kasur sebelah.

Diana, cewek manisnya Maumere ini merupakan kakak kelas, dua tingkat di atasku. Dia diundang kembali ke PB AMAN sebagai staff residen, mengisi posisi kak Fitri yang lagi cuti di pertengahan November kemarin karena sakit. Semoga Allah memberikan kesembuhan untuk kak Fitri. Pribadi yang asyik, hobi telpon/video call-an.

Semua berlalu tak terasa, terima kasih untuk semua kebersamaan dan ilmu selama lima bulan, semoga bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. Aamiin.

 

Masalah Masyarakat Adat dan Penyelesaiannya

Masyarakat adat adalah penduduk negeri yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari pemerintah negeri ini. Entah karena sikap abai atau ketidaktahuan akan kondisi real yang mereka hadapi. Terlepas dari semua itu, pemerintah bertanggung jawab menjaga diri, keluarga, harta dan lingkungan rakyatnya tanpa diskriminasi.

Namun yang terjadi saat ini pemerintah salah mengerti – gagal paham (karena merasa paling paham) dengan kebutuhan masyarakat secara umum, khususnya Masyarakat Adat. Itu terbukti di mana AMAN sudah mendorong pemerintah membentuk UU tentang Masyarakat Adat yang melindungi segenap kehidupan Masyarakat Adat dengan mengakui, melindungi segala kekayaan adat dan hal-hak yang mereka miliki. Bahkan hal itu sudah dimasukkan dalam nawacita pemerintahan Jokowi periode pertama. Namun hasilnya nihil. Meski begitu, AMAN tak pernah berputus asa dan terus menagih janji pemerintah. Draf RUU Masyarakat Adat sudah diserahkan ke DPR RI bahkan hanya saja belum bisa dibahas karena pemerintah tak kunjung membuat DIM (daftar inventaris masalah) yang menjadi persyaratan dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat tersebut. Pemerintah justru ingin membentuk UU lain yang boleh dikata belum dibutuhkan bahkan bertentangan dengan UU sebelumnya yang dinilai lebih bermasyarakat, contohnya ini RUU Pertanahan, UU KPK, dan RUU KUHP.

Pemerintah dan sistem pemerintahan yang adil menjadi solusi untuk setiap permasalahan yang menimpa suatu negara. Pemerintahan saat ini diharapkan mampu menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat termasuk Masyarakat Adat.

 


Penulis adalah pemagang gelombang IV di PB AMAN