Budi Baskoro
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah – Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tak sabar menanti digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotawaringin Barat untuk membahas proteksi peladang tradisional dari kriminalisasi dan peraturan daerah (Perda) pengakuan hak-hak masyarakat adat.
“Kita sudah dapat informasi, akan diagendakan akhir April 2020,” ujar Mardani, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Kotawaringin Barat, di kantornya, Kamis (30/1/2020).
Desakan untuk RDP itu mereka sampaikan dalam unjuk rasa di gedung DPRD Kotawaringin Barat, 20 Desember 2019. Mereka melakukan aksi untuk menolak kriminalisasi peladang, dan meminta anggota DPRD membuat peraturan daerah yang melindungi hak-hak masyarakat adat di wilayahnya.
Dalam aksi yang melibatkan Aliansi Mahasiswa Kobar dan anggota komunitas masyarakat adat yang bernaung di bawah AMAN, DPRD diminta bersedia menggelar RDP.
“Rapat dengar pendapat itu harus dilaksanakan secara partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat adat, akademisi, praktisi hukum, dan NGO terkait lainnya,” demikian bunyi tuntutan massa aksi ketika itu.
Saat itu, dua Wakil Ketua DPRD, Mulyadin dan Bambang Suherman bersedia menerima tuntutan massa aksi. Mereka juga menuangkan tanda tangan dalam nota kesepakatan disaksikan para peserta aksi.
Mardani mengatakan, saat ini dengan mudah aparat hukum seperti tak mengakui kearifan lokal yang eksis, hanya karena peraturan formalnya belum ada. Padahal, menurutnya tradisi dan masyarakat adat itu eksis, sejak sebelum hadirnya negara ini.
“Gusti Maulidin dan Sarwani itu anggota komunitas AMAN dari Desa Rungun yang berladang untuk tanam padi di tanah adatnya sendiri. Sesuai kearifan lokal. Lalu, kenapa dipenjara,” kata Mardani.
Pewarta adalah Infokom AMAN Kotawaringin Barat.